SISTEM PEMASARAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG USAHA AGRIBISNIS
PERTANIAN LAHAN KERING DI NUSA TENGGARA BARAT
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR dan Sri Hastuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB
ABSTRAK
Pengembangan ternak kambing di NTB dalam upaya peningkatan produksi belum dilakukan secara maksimal. Populasi ternak kambing di NTB belum mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal karena pertumbuhan populasi ternak kambing yang relatif lambat yang disebabkan oleh penerapan teknologi yang rendah. Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem pemasaran ternak kambing. Menganalisis alur dan efesiensi pemasaran ternak kambing untuk mendukung usaha agribisnis serta ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan kering. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2005 – April 2006 di tiga kabupaten di pulau Lombok yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Data primer dikumpulkan melalui wawancara pada responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi kambing potong di NTB belum mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal, nasional maupun internasional. Ditinjau dari aspek ekonomi, usaha ternak kambing memberikan keuntungan dan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Berdasarkan analisis marjin bahwa peternak menerima harga sebesar Rp 416.667/ekor kambing. Harga ini merupakan 75,76% dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten yang menunjukkan bahwa pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing. Marjin pemasaran pedagang pengumpul kabupaten (17,61%) lebih tinggi dibandingkan dengan marjin pemasaran blantik (6,63%) yang disebabkan oleh: (1) blantik umumnya tidak melakukan pemeliharaan dalam waktu lama sebelum kambing dijual karena keterbatasan tempat sehingga biaya pemasaran dapat ditekan; dan (2) blantik tidak memiliki modal sendiri untuk membeli ternak kambing melainkan menggunakan modal dari pedagang pengumpul kabupaten.
Kata kunci: sistem pemasaran, ternak kambing, usaha agribisnis, pertanian lahan kering.
PENDAHULUAN
Potensi wilayah NTB yang sebagian besar merupakan lahan kering mempunyai peluang yang sangat besar untuk pengembangan ternak kambing yang berorientasi agribisnis. Ternak kambing merupakan salah satu komoditi peternakan yang efesien, mudah dipelihara dan cepat menghasilkan, sehingga sangat relevan untuk dikembangkan pada petani kecil di wilayah pertanian lahan kering. Akan tetapi belum di dukung oleh kebijakan pemerintah daerah untuk menetapkan wilayah-wialayh tertentu yang berpeluang sebagai kawasan pengembangan komoditas peternakan yang berorientasi agribisnis.
Ternak kambing mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kehidupan sebagian besar masyarakat petani di pedesaan sehingga diperlukan upaya-upaya peningkatan produktivitas ternak. Ternak kambing mempunyai peranan pada tiga aspek utama yaitu aspek biologis, ekonomi dan sosial budaya masyarakat yang memungkinkan pengembangan ternak kambing (Sutama, 2004). Beberapa masalah utama dalam pengembangan ternak kambing yaitu usaha pemeliharaan masih berupa usaha sampingan, penerapan teknologi rendah, keterbatasan bibit yang berkualitas, keterbatasan pakan pada musim kemarau dan keterbatasan tenaga kerja keluarga serta semakin menyempitnya lahan untuk pengembalaan khususnya di pulau Lombok (Bulu, et al, 2004b). Upaya pengembangan ternak kambing di Nusa Tenggara Barat (NTB) terutama pada wilayah lahan kering selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga, juga diharapkan mampu menggerakkan sistem produksi dan pemasaran yang berkelanjutan dalam sistem dan usaha agribisnis.
Konsumsi daging kambing penduduk NTB terutama pada hari-hari raya mengalami peningkatan. Jumlah ternak kambing yang di potong antara tahun 2003 – 2005 mengalami peningkatan yaitu mencapai 3.330 ekor (30,93%), belum termasuk ternak yang di potong pada hari raya yang tidak tercatat (BPS, 2005).
Gambar 1. Perkembangan jumlah pemotongan dan harga ternak kambing di NTB, 2001 - 2005
Prospek pasar ternak kambing baik pasar lokal, nasional maupun internasional dengan tingkat harga yang semakin meningkat setiap tahun maka akan mendorong sistem produksi dan pemsaran yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem pemasaran ternak kambing untuk mendukung pengembangan ternak dan usaha agribisnis di wilayah pertanian lahan kering.
MOTODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan survei. Penelitian dilakukan di pulau Lombok yang meliputi 6 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, 3 kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah dan 2 kecamatan di Kabupaten Lombok Barat. Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposif dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan sentra produksi ternak kambing atau memiliki populasi ternak kambing terbanyak.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari – Desember 2005. Pemilihan responden ditentukan secara purposif. Populasi responden yang menjadi sasaran penelitian meliputi petani/peternak, blantik, pedagang pengumpul kecamatan, jagal, pedagang antarpulau, pedagang daging, pasar hewan dan rumah makan atau restoran.
Data primer diperoleh melalui pengamatan, pencatatan, dan wawancara secara mendalam dengan responden dan informan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Sedangkan data sekunder dikumpulkan pada instansi-instansi terkait. Data kuantitatif dan kualitatif yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara kualitatif dan deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Produksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (95%) petani yang memelihara ternak kambing masih merupakan usaha sampingan dengan jumlah kambing yang dipelihara berkisar 5 – 6 ekor per rumah tangga. Populasi kambing yang dipelihara rumah tangga petani masih relatif sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk menjamin kontinyutas sistem produksi dan pemasaran. Pemeliharaan kambing oleh petani belum didukung oleh penerapan teknologi yang memadai dan umumnya ternak kambing dominan digembalakan tanpa dukungan pemberian pakan yang berkualitas (Bulu, et al. 2004a).
Meningkatnya kematian ternak pada musim hujan juga dipengaruhi oleh bentuk dan model kandang yang dibangun petani yang cenderung tertutup dengan pagar berlapis sehingga raltif lembab dan sulit dibersihkan. Model kandang tertutup dengan pagar berlapis dapat ditemukan di sejumlah kecamatan di wilayah Lombok bagian Selatan yang dikategorikan mempunyai tingkat kerawanan sosial tinggi. Dengan demikian masalah-masalah kerawanan sosial yang terjadi pada suatu wilayah dan komunitas masyarakat merupakan hambatan sosial dan hambatan psikologi yang dialami peternak dalam penerapan teknologi dan pengembangan ternak kambing. Kondisi sosial yang kurang aman untuk usaha peternakan menyebabkan peternak cenderung berspekulasi dan bahkan enggan untuk memilih usaha tersebut.
Aspek Ekonomi
Secara umum peternak menyadari bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak kambing yang dilakukan selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga. Namun sampai dengan saat ini usaha ternak kambing belum dilakukan sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga yang disebabkan oleh keterbatasan modal dan manajemen usaha yang masih rendah. Bulu, et al, 2005a, menggambarkan bahwa pendapatan usaha pangan sebesar 78,9% dan pendapatan usaha ternak kambing sebesar 48,4% digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sedangkan jumlah modal yang digunakan untuk usaha ternak kambing dari kedua sumber pendapatan tersebut adalah masing-masing 5,4% dan 5,6%. Hal ini menunjukkan bahwa petani lebih memprioritaskan ketahanan pangan rumah tangga sehingga modal yang dialokasikan untuk usaha ternak kambing relatif terbatas.
Ditinjau dari aspek ekonomi bahwa usaha pembibitan ternak kambing dengan jumlah induk yang dipelihara sebanyak 7 ekor relatif menguntungkan dengan tambahan keuntungan yang diperoleh selama 14 – 15 bulan sebesar Rp 1.703.863,- atau Rp 113.600,/bulan (Bulu, et al, 2005c).
Kelembagaan Pemasaran Ternak Kambing
Pedagang yang biasa membeli kambing baik di petani maupun di pasar hewan meliputi blantik, pedagang pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, jagal dan rumah makan. Penjualan kambing sebagian besar dilakukan di pasar hewan namun ada juga yang dijual di rumah atau tempat penampungan ternak. Selain penjualan kambing di pasar-pasar hewan di pulau Lombok juga melayani permintaan kambing dari pulau Sumbawa, Madura dan permintaan bibit oleh proyek-proyek pemerintah. Ukuran kambing yang dijual bervariasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar atau konsumen.
Para pedagang kambing tidak mempunyai modal yang besar guna menunjang kegiatan pemasaran. Untuk memperlancar sistem pemasaran para pedagang menciptakan hubungan sosial dalam pemasaran kambing. Pedagang pengumpul kecamatan membeli kambing kepada pengumpul desa (blantik) dan pengumpul kabupaten kepada pengumpul kecamatan dengan sistem panjar atau bayar dibelakang (di bayar lunas setelah kambing terjual berkisar 3 – 6 hari). Selain itu jika para pedagang pengumpul yang memebeli kambing di rumah-rumah petani bertemu di satu kandang petani maka hanya satu orang yang melakukan tawar-menawar hingga mencapai harga yang disepakati. Tindakan pedagang pengumpul tersebut adalah untuk menciptakan harga bersama guna menghindari persaingan penentuan harga ternak pada saat proses tawar menawar. Untuk menjaga hubungan sosial diantara mereka maka ternak kambing yang dibeli oleh satu orang pedagang dijual bersama-sama dan keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan di bagi rata dengan jumlah pedagang yang pada saat itu bertemu pada satu kandang petani. Demikian pula pembelian dan pebayaran yang dilakukan oleh rumah makan juga menggunakan pendekatan hubungan sosial.
Pembayaran dengan sistem panjar sudah berlangsung selama ± 30 tahun dan selama ini sistem tersebut belum pernah menghambat kegiatan pembelian dan penjualan ternak kambing. Hubungan sosial dalam pemasaran ternak kambing yang masuk dalam sistem ekonomi menunjukkan bahwa dalam kegiatan bisnis hasil pertanian tidak selamanya berlaku hubungan ekonomi murni. Keterpaduan antara perilaku ekonomi dan sosial tentu mempunyai kelemahan-kelemahan bila ditinjau dari berbagai aspek. Bila perilaku ekonomi lebih dominan dari perilaku sosial maka tidak akan mempengaruhi sistem ekonomi di suatu wilayah. Hubungan sosial antara pedagang pengumpul dalam pemasaran ternak kambing tidak ada nilai-nilai dan aturan-aturan baku yang harus disepakati dan ditaati di antara pedagang.
Hubungan sosial lain yang dibangun adalah pembagian jata dalam pengadaan ternak kambing diantara beberapa pedagang pengumpul. Jika salah satu pedagang menerima pengadaan ternak kambing dari pihak lain (pemerintah atau pengusaha) dalam jumlah besar, maka dalam pengadaan ternak dibagi kepada beberapa pedagang pengumpul. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pengadaan dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati.
BaiklBlantik maupun pedagang pengumpul selalu memelihara hubungan baik dengan para makelar pasar (tukang pemegang tali ternak) dalam proses tawar menawar di pasar hewan. Hubungan sosial yang diciptakan antara pedagang pengumpul adalah untuk membangun keharmonisan diantara mereka untuk tetap berlaku jujur, saling menghargai dan saling percaya.
Sistem Pemasaran Ternak Kambing
Pengembangan usaha ternak kambing yang berorientasi agribisnis perlu mempertimbangkan sistem produksi dan jaringan pemasaran serta kemampuan daya serap pasar per kawasan. Skala usaha pemeliharaan ternak kambing bagi peternak merupakan bagian terpenting yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberlanjutan usaha agribisnis ternak kambing di lahan kering.
Penjualan ternak kambing dilakukan oleh petani/peternak pada waktu-waktu tertentu yaitu untuk memenuhi kebutuhan mendesak (untuk modal usahatani, biaya anak sekolah, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari) dan menunggu harga kambing mahal menjelang hari raya Qurban.
Tempat penjualan ternak kambing oleh petani umumnya dilakukan dirumah dimana blantik atau pedagang pengumpul mendatangi petani/peternak. Harga umumnya ditentukan oleh pembeli namun melalui proses tawar menawar. Cara untuk menentukan harga adalah dengan ditaksir berdasarkan ukuran, umur, penampilan, warna bulu dan jenis ternak kambing. Cara penentuan harga kambing dengan ditimbang hidup belum ada. Namun baik petani/peternak maupun pedagang lebih menyukai penentuan harga kambing dengan cara ditaksir. Cara tersebut lebih menguntungkan bagi penjual dibandingkan bila ditimbang hidup. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang kepada petani umumnya dilakukan secara tunai. Jenis dan ukuran kambing yang dijual maupun yang diminta pasar bervariasi mulai dari anak lepas sapih, kambing muda, dan kambing dewasa serta jenis kelamin ternak. Semua ukuran kambing yang dijual petani dapat di beli pedagang karena mempunyai peluang pasar yang sama.
Pembelian kambing untuk bibit dan penggemukan umumnya dilakukan petani pada sesama peternak, namun ada juga yang membeli di pasar hewan maupun pada pedagang pengumpul. Jika petani membeli di pedagang pengumpul maupun di pasar hewan harganya lebih mahal dibandingkan jika membeli pada sesama peternak.
Tingkat harga ternak kambing berdasarkan kualitas ternak, biasanya kambing peranakan PE harganya lebih mahal dibanding dengan kambing lokal (kacang). Perkembangan harga kambing yang di beli petani pada sesama peternak dari semua ukuran kambing seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Jumlah Pembelian dan Penjualan, Harga Beli dan Jual Ternak Kambing oleh Petani di NTB, 2005 (Rp/ekor)
Uraian Volume beli (ekor) Volume Jual (ekor) Harga Beli (Rp) Harga Jual (Rp)
Jantan dewasa 1 1 400.000 450.000
Betina dewasa 2,5 2,5 250.000 300.000
Jantan muda 1 1 150.000 175.000
Betina muda 2 2 125.000 137.500
Anak lepas sapih 2 2 100.000 125.000
Sumber: Data primer diolah
Jumlah pembelian dan penjualan kambing antara beberapa pedagang relatif berbeda, hal ini disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki. Menjelang hari raya Qurban (Lebaran Haji) jumlah pembelian dan penjualan kambing relatif meningkat karena meningkatnya permintaan kambing potong. Meningkatnya permintaan ternak potong pada musim-musim tertentu (hari raya Qurban) diharapkan dapat membangkitkan minat peternak untuk memelihara ternak kambing. Rata-rata jumlah pembelian dan penjualan kambing berdasar ukuran dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Rata-rata Pembelian Kambing oleh pedagang di Pulau Lombok, 2005 (ekor/bulan)
Jenis Pedagang Jumlah Pembelian pada hari biasa (ekor/bulan) Jumlah Pembelian menjelang hari Qurban (ekor/bulan)
Jantan besar Induk dewasa Jantan muda Betina muda Jantan besar Induk dewasa Jantan muda Betina muda
Blantik 3,0 2,3 1,3 2,0 34,7 19,8 23,5 3,0
Pengumpul kecamatan 8,2 10,4 6,0 6,4 253 175,0 225,9 9,2
Pengumpul kabupaten 50,5 65,75 35,75 20,5 422,8 309,0 184,0 12,4
Jagal/Rumah makan 4,0 3,5 10,5 10,0 13,2 10,3 20,7 15,6
Jumlah 65,7 82,6 53,6 38,9 723,7 514,1 454,1 123,0
Sumber: Data primer diolah
Khusus untuk pembelian dan penjualan ternak kambing potong menjelang hari raya Qurban hanya berlaku selama satu bulan. Setelah hari raya jumlah permintaan kambing potong dan harga mengalami penurunan kembali sampai mendekati harga normal. Harga kambing di pulau Sumbawa relatif lebih mahal di bandingkan di pulau Lombok disebabkan oleh populasi kambing potong yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal. Untuk memnuhi kebutuhan kambing potong pada hari raya Qurban di pulau Sumbawa maka harus di pasok dari NTT berkisar 3000 – 5000 ekor per tahun.
Tabel 3. Rata-Rata Penjualan Kambing oleh Pedagang di Pulau Lombok, 2005 (ekor/bulan)
Jenis Pedagang Jumlah penjualan pada hari biasa (ekor/bulan) Jumlah penjualan menjelang hari Qurban (ekor/bulan)
Jantan besar Induk dewasa Jantan muda Betina muda Jantan besar Induk dewasa Jantan muda Betina muda
Blantik 3,0 2,3 1,3 2,0 32,7 16,8 20,5 2,0
Pengumpul kecamatan 7,6 33,1 35,3 35,3 250,0 173 223,9 8,9
Pengumpul kabupaten 49,0 65,75 35,75 20,5 420,8 307,9 182,7 12,0
Jagal/Rumah makan*) 2,0 2,5 7,5 5,0 13,0 10,0 20,0 17,0
Jumlah 61,6 103,6 79,8 62,8 716.5 507,7 447,1 39,9
Keterangan: *) Jumlah pemotongan
Sumber: Data primer diolah
Perkembangan harga kambing yang dipasarkan semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan jumlah permintaan melebihi populasi kambing potong yang tersedia terutama peningkatan harga terjadi menjelang hari raya Qurban. Dengan demikian dapat diduga bahwa ternak kambing mempunyai keunggulan kompetitif terhadap komoditas tanaman pangan serta mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga petani/peternak di wilayah lahan kering. Untuk meningkatkan tambahan perolehan pendapatan petani lahan kering maka salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan usaha ternak kambing secara terpadu dengan usahatani pangan dan palawija.
Tabel 4. Perkembangan Harga Kambing di Pulau Lombok, 2006 (Rp/ekor)
Uraian Harga kambing (Rp/ekor) tahun 2005 Harga kambing (Rp/ekor) tahun 2006
Hari Biasa Hari Raya Hari Biasa Hari Raya
Jantan besar 500.000,00 750.000,00 550.000,00 850.000,00
Induk besar 350.000,00 500.000,00 400.000,00 550.000,00
Jantan muda 250.000,00 350.000,00 325.000,000 400.000,00
Betina muda 200.000,00 275.000,00 250.000,00 325.000,00
Anak lepas sapih 150.000,00 - 150.000,000 -
Sumber: Data primer diolah
Keterangan: Informasi Harga diperoleh di pasar hewan
Marjin dan Alur Pemasaran Ternak Kambing
Blantik umumnya membeli ternak kambing secara langsung di petani dan di pasar hewan maupun pasar umum. Penjualan kambing sebagian besar dilakukan di pasar-pasar hewan dan tempat penampungan ternak. Ukuran kambing yang dijual bervariasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar.
Tingkat harga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani termasuk peternak dalam melakukan produksi. Tingkat harga diantaranya dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pemasaran komoditas bersangkutan. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran. Analisis marjin pemasaran dalam tulisan ini difokuskan hanya sampai pada harga jual kambing pada tingkat pedagang pengumpul kabupaten (tidak termasuk pemasaran daging kambing). Satuan analisis selama sebulan, rata-rata harga dan volume pemasaran per bulan sudah memperhitungkan pemasaran pada musim permintaan tinggi (hari raya Qurban). Dari Tabel 5 dapat diperoleh informasi bahwa peternak menerima harga sebesar Rp 416.667/ekor kambing. Harga ini merupakan 75,76 % dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten. Total marjin pemasaran sebesar 24,24 % didistribusikan sebagai biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran masing-masing sebesar 3,40 % dan 20,84 %. Komponen utama biaya pemasaran adalah biaya angkutan (1,25 %) dan biaya tidak resmi atau biaya untuk makelar (0,97 %).
Berdasarkan analisis marjin pemasaran, besaran pangsa harga peternak (75,76 %) lebih tinggi daripada pangsa marjin pemasaran (24,24 %) menunjukkan bahwa pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing.
Marjin pemasaran pedagang pengumpul kabupaten sebesar (17,61 % ) lebih tinggi dibandingkan dengan marjin pemasaran blantik (6,63 %). Penyebab dari perbedaan marjin pemasaran tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, pada umumnya blantik tidak melakukan pemeliharaan dalam waktu lama sebelum kambing dijual karena keterbatasan tempat sehingga biaya pemasaran dapat ditekan. Kedua, profit marjin yang diterima blantik lebih kecil (5,51 %) dibandingkan profit marjin yang diterima pedagang pengumpul kabupaten (15,33 %) karena blantik tidak memiliki modal sendiri untuk membeli ternak kambing melainkan menggunakan modal dari pedagang pengumpul kabupaten.
Tabel 5. Marjin Pemasaran Kambing dari Peternak Sampai Pedagang Pengumpul Kabupaten di Pulau Lombok, 2005
No. Uraian Harga/Biaya (Rp) Persentase1) (%)
Harga jual peternak2) 416.667 75,76
Blantik
1. Harga beli2) 416.667 75,76
2. Biaya pemasaran2) : 6.166 1,12
a. Biaya pembelian 1.667 0,30
– Transpor pembelian 1.000 0,18
– Tenaga kerja pembelian 667 0,12
b. Biaya penjualan 4.499 0,82
– Transpor penjualan 909 0,17
– Konsumsi 1.000 0,18
– Retribusi 1.000 0,18
– Makelar 1.590 0,29
3. Keuntungan blantik2) 30.292 5,51
4. Marjin pemasaran2) 36.458 6,63
5. Harga jual blantik2) 453.125 82,39
Pedagang pengumpul kabupaten
1. Harga beli2) 453.125 82,39
2. Biaya pemasaran2) : 12.545 2,28
a. Biaya pembelian 4.614 0,84
– Transpor pembelian 2.210 0,40
– Tenaga kerja pembelian 1.066 0,19
– Pakan 1.338 0,24
b. Biaya penjualan 7.931 1,44
– Transpor penjualan 2.748 0,50
– Konsumsi 523 0,10
– Retribusi 928 0,17
– Makelar 3.732 0,68
3. Keuntungan pengumpul kabupaten2) 84.330 15,33
4. Marjin pemasaran2) 96.875 17,61
5. Harga jual/harga beli PAP dan konsumen2) 550.000 100,00
Rata-rata volume pemasaran/bulan3) 765
Total keuntungan pedagang/bulan4) 87.685.830
Sumber : Data primer diolah
Keterangan :
1) Persentase dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten/harga beli pedagang antar pulau dan konsumen
2) Per ekor kambing
3) Satuan volume pemasaran adalah ekor
4) Total keuntungan blantik dan pedagang pengumpul kabupaten selama sebulan
Pemasaran ternak kambing di Pulau Lombok relatif lancar dengan harga bersaing dan menguntungkan bagi petani/peternak maupun pelaku pasar itu sendiri. Blantik dan pedagang pengumpul masih sangat diperlukan oleh petani karena mempunyai peranan dalam memperlancar dan mempercepat proses dan sistem pemasaran ternak kambing.
Penentuan harga kambing lebih dominan hasil kesepakatan antara pembeli dan penjual setelah melalui proses tawar menawar hingga mencapai kesepakatan harga yang dikehendaki. Sebelum ternak di jual para petani selalu mencari informasi perkembangan harga dan volume pembelian ternak kambing di pasar-pasar hewan di pulau Lombok, pedagang pengumpul dan sesama peternak yang telah menjual ternaknya. Keadaan ini dapat memperkuat posisi peternak dalam proses tawar menawar dengan pedagang pengumpul yang bersaing untuk membeli ternak kambing. Dengan demikian akan berdampak pada terbentuknya tingkat harga kambing yang menguntungkan bagi petani/peternak. Rumah makan/restoran lebih dominan membeli kambing hidup kepada pedagang pengumpul dan memotong sendiri sehingga tidak membeli daging pada jagal. Jagal lebih dominan menjual daging kepada pedagang daging, pedagang sate dan rumah tangga dengan harga berkisar Rp 26.000 – Rp 30.000/kg.
Gambar 2. Alur pemasaran ternak kambing di pulau Lombok, 2005
KESIMPULAN
1. Populasi kambing yang dipelihara rumah tangga petani masih relatif sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk menjamin kontinyutas sistem produksi dan pemasaran. Produksi dan pemasaran ternak kambing khususnya di pulau Lombok mempunyai prospek yang cukup baik karena tingginya permintaan ternak potong dengan harga bersaing.
2. Untuk menjamin kontinyuitas produksi dan pemasaran ternak kambing diperlukan dukungan antara lain: (1) penerapan teknologi pemeliharaan; (2) pemberdayaan kelembagaan; (3) kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan ternak kambing pada sentra-sentra produksi di wilayah lahan kering.
3. Secara ekonomi bahwa usaha ternak kambing memberikan keuntungan dan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani lahan kering.
4. Harga yang diterima peternak sebesar Rp 416.667/ekor kambing, merupakan 75,76% dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten yang dinilai memberikan motif yang cukup memadai bagi pengembangan agribisnis di lapangan
5. Pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2004, Mataram.
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2005. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2005, Mataram.
Bulu Y.G., Mashur, W.R., Sasongko., dan A. Muzani, 2004b. Peluang Pengembangan Ternak Kambing Mendukung Agribisnis dan Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong “ Kebutuhan Innováis Teknologi Mendukung Agribisnis yang Berdayasaing”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Bulu, Y.G., WR Sasongko, Sri Hastuti, Wildan Arif, dan Awaludin, 2005b. Laporan Survei Pemasaran Ternak Kambing di Pulau Lombok. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. (Tidak dipublikasikan).
Bulu, Y.G., WR Sasongko., Arif Surahman, H.H. Marawali dan Mashur, 2004a. Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Sistem Usahatani Ternak Kambing di Lahan Kering Kabupaten Lombok Timur. Prosiding Seminar Nasional “Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan Peternakan Dalam Sistem Usaha Tani Lahan Kering”. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Bogor.
Bulu, Y.G., WR Sasongko., dan K. Puspadi, 2005c. Model Kelembagaan Pengembangan Ternak Kambing pada Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timar. Prosiding Seminar Nasional “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan Di Lahan Marginal” Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB dengan Pusat Penelitian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian. Bogor.
Bulu, Y.G., WR Sasongko., dan Mashur, 2005d. Rekomendasi Sistem Usahatani Ternak Kambing pada Lahan Kering di Lombok Timar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang Pertanian. Mataram.
Sutama, I Ketut, 2004. Teknologi Reproduksi Ternak Kambing. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, BPTP Nusa Tenggara Barat, Tanggal 2 Maret 2004 di Mataram.