KOMPONEN PEMBELAJARAN SELF-REGULATED DAN MOTIVASIONAL DALAM PRESTASI AKADEMIK DI KELAS Paul L Pntrich dan Elizabeth V. De Groot Sekolah pendidikan Universitas Michigan Sebuah penelitian korelasional menguji hubungan antara orientasi motivasional, pembelajaran self-regulated, dan kinerja akademik di kelas dari sejumlah 173 murid kelas tujuh dari delapan kelas Ilmu Pengetahuan dan tujuh kelas Bahasa Inggris. Di sini digunakan ukuran self-report tentang self-efficacy, nilai intrinsik, kegelisahan ujian, self-regulation, dan penggunaan strategi belajar sehingga diperoleh data kinerja/prestasi melalui tugas-tugas di kelas. Self-efficacy dan nilai intrinsik berkaitan positif dengan kinerja dan cognitive engagement. Analisis regresi menunjukkan bahwa tergantung ukuran hasilnya, self-regulation, self-efficacy, dan kegelisahan ujian muncul sebagai pemrakira kinerja (predictor) yang paling baik. Nilai intrinsik tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kinerja tapi sangat berkaitan kuat dengan self-regulation dan penggunaan strategi kognitif, terlepas dari level capaian atau prestasi sebelumnya. Terakhir didiskusikan implikasi perbedaan individu dalam orientasi motivasional terhadap cognitive engagement dan self-regulation di dalam kelas. Self-regulation dari kognisi dan perilaku merupakan aspek penting dalam pembelajaran siswa dan kinerja akademik dalam konteks ruang kelas (Corno & Mandinach, 1983; Corno & Rohrkemper, 1985). Ada berbagai definisi pembelajaran self-regulated, tapi setidaknya ada tiga komponen terpenting dalam kinerja kelas. Pertama, pembelajaran self-regulated mencakup strategi metakognisi siswa dalam perencanaan, monitoring, dan modifikasi kognisinya (misalnya Brown, Bransford, Campione, & Ferrara, 1983; Corno, 1986; Zimmerman & Pons, 1986, 1988). Manajemen siswa dan kontrol upaya mereka di dalam tugas akademik di kelas juga dikemukakan sebagai komponen penting lainnya di samping ketiga di atas. Sebagai contoh, siswa berkecapakan tinggi yang bertahan di dalam tugas yang sulit atau situasi yang bising (yakni teman kelas yang gaduh) mampu mempertahankan cognitive engagement-nya dalam tugas, menjadikannya berkinerja lebih baik (Corno, 1986; Corno & Rohrkemper, 1985). Aspek penting ketiga dari pembelajaran self-regulated yang dimasukkan beberapa peneliti dalam konsepnya adalah strategi kognitif aktual (actual cognitive) yang digunakan siswa dalam mempelajari, mengingat, dan memahami materi (Corno & Mandinach, 1983; Zimmerman & Pons, 1986, 1988). Berbagai strategi seperti latihan, elaborasi, dan strategi keorganisasian ditemukan mampu mendorong cognitive engagement aktif dalam pembelajaran dan berakibat pada lebih tingginya level prestasi atau capaian (Weinstein & Mayer, 1986). Ketiga komponen ini mendasari defnisi penelitian kami terhadap pembelajaran self-regulated. Namun demikian, pengetahuan kognitif dan strategi metakognitif biasanya tidak cukup untuk mendorong prestasi siswa, siswa juga harus dimotivasi untuk menggunakan strategi dan mengatur kognisi serta usaha mereka (Paris, Lipson, &Wixson, 1983; Pintrich, 1988, 1989; Pintrich, Cross, Kozma, & McKeachie, 1986). Kendati terdapat situasi kelas dan tugas yang dapat mendorong motivasi (cf., Corno & Rohrkemper, 1985; Malone, 1981), namun ada juga bukti yang menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap kelas termasuk orientasi motivasional serta keyakinannya tentang pembelajaran relevan terhadap cognitive engagement dan kinerja kelas (misalnya Ames & Archer, 1988; Nolen, 1988). Dengan demikian, penting halnya menguji bagaimana ketiga komponen pembelajaran self-regulated tersebut dikaitkan dengan perbedaan individu dalam motivasi siswa guna menggambarkan dan memahami bagaimana karakteristik personal berhubungan dengan cognitive engagement dan kinerja akademis siswa di kelas (Corno & Snow, 1986; Snow, 1989; Weinert, 1987). Kerangka kerja teoritis untuk mengkonseptualisasikan motivasi siswa adalah adaptasi model motivasi nilai-ekspektansi umum (general expectancy-value) (cf., Eccles, 1983; Pintrich, 1988, 1989). Model tersebut menyatakan bahwa ada tiga komponen motivasional yang dapat dikaitkan dengan ketiga komponen pembelajaran self-regulated: (a) komponen ekspektansi, yang mencakup keyakinan siswa tentang kemampuannya menjalankan tugas, (b) komponen nilai, yang mencakup tujuan siswa dan keyakinan tentang kepentingan dan ketertarikan tugas, dan (c) komponen afektif, yang mencakup reaksi emosional siswa terhadap tugas tersebut. Komponen ekspektansi dari motivasi siswa sudah banyak diuraikan di berbagai literatur motivasional (misalnya kompetensi yang dirasakan, self-efficacy, gaya atribusi, dan keyakinan kontrol), namun konsep dasarnya adalah keyakinan siswa bahwa mereka dapat menjalankan tugas dan bahwa mereka bertanggungjawab terhadap prestasinya sendiri. Dalam hal ini, komponen ekspektansi melibatkan jawaban siswa terhadap pertanyaan, “Dapatkah saya mengerjakan tugas ini? Berbagai aspek komponen ekspektansi telah dikaitkan dengan metakognisi siswa, penggunaan strategi kognitif, dan manajemen usaha yang mereka lakukan. Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa siswa yang yakin mereka mampu dalam metakognisi, menggunakan lebih banyak strategi kognitif akan lebih mungkin bertahan di dalam tugas tersebut ketimbang siswa yang tidak yakin bahwa mereka dapat menjalankan tugas (misalnya, Fincham & Cain, 1986; Paris & Oka, 1986; Schunk, 1985). Komponen nilai dari motivasi siswa melibatkan tujuan siswa dalam tugas dan keyakinannya tentang pentingnya tugas tersebut. Kendati komponen ini sudah banyak dijelaskan (misalnya tujuan pembelajaran vs prestasi, orientasi intrinsik vs ekstrinsik, nilai tugas, dan kepentingan intrinsik), namun komponen motivasional ini merupakan pertimbangan utama siswa untuk melakukan tugas. Dengan kata lain adalah apa jawaban siswa terhadap pertanyaan “Mengapa saya melakukan tugas ini?” Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki orientasi motivasional meliputi tujuan penguasaan, pembelajaran, dan tantangan, termasuk keyakinan bahwa tugas tersebut menarik dan penting akan lebih banyak berkutat dalam aktivitas metakognitif, menggunakan lebih banyak strategi kognitif, dan melakukan manajemen usaha yang lebih afektif (misalnya Ames & Archer, 1988; Dweck & Elliott, 1983; eccles, 1983; Meece, Blumenfeld, & Hoyle, 1988; Nolen, 1988; Paris & Oka, 1986). Komponen motivasional ketiga adalah reaksi emosional atau afektif dari siswa terhadap tugas tersebut. Masalah penting bagi siswa di sini adalah pertanyaan “Bagaimana perasaan saya tentang/terhadap tugas ini?” Sekali lagi, ada banyak sekali reaksi afektif yang bisa relevan di sini (misalnya marah, bangga/sombong, bersalah), tapi dalam konteks pembelajaran sekolah salah satu yang paling penting adalah kegelisahan ujian (Wigfield & Eccles, 1989). Kegelisahan ujian menunjukkan ada kaitannya dengan persepsi kompetensi (misalnya Nicholls, 1976), tapi bisa saja berbeda secara teoritis dan empiris. Penelitian tentang kegelisahan ujian telah dikaitkan dengan metakognisi siwa, penggunaan strategi kogntiif, dan manajemen usaha (misalnya, Benjamin, McKeachie, Lin, & Holinger, 1981; Culler & Holahan, 1980; Tobias, 1985). Kendati dua komponen motivasional lainnya secara umum menunjukkan relasi yang sederhana, positif dan linear dengan komponen pembelajaran self-regulated, namun hasilnya dalam kegelisahan ujian tidak sejelas itu. Sebagai contoh, Benjamin dkk (1981) menemukan bahwa kendati siswa high-anxious (sangat gelisah) terlihat sama gigihnya dengan siswa yang low-anxious (kurang gelisah), namun mereka terlihat sebagai pembelajar yang sangat tidak-efektif dan tak-efisien yang seringkali tidak menggunakan strategi kognitif yang tepat. Di sisi lain, peneliti lainnya mengemukakan bahwa anak yang high-anxious tidak gigih atau menghindari tugas-tugas sulit (Hill & Wigfield, 1984). Dengan demikian kegelisahan ujian dapat dikaitkan dengan ketiga komponen pembelajaran self-regulated. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komponen ekspektansi dan nilai akan berkaitan positif dengan ketiga komponen pembelajaran self-regulated, sementara penelitian tentang kegelisahan ujian tidak menunjukkan hubungan yang sesederhana itu. Dengan demikian, salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan memperjelas hubungan empiris antara komponen pembelajaran self-regulated dengan motivasional. Di samping itu, karena sedikit sekali penelitian sebelumnya yang memasukkan ketiga komponen motivasional ini dalam rancangan mereka, maka tujuan kedua penelitian ini adalah menguji hubungan interaktif potensial dari ketiga komponen motivasional terhadap komponen pembelajaran self-regulated. Terakhir, hubungan antara motivasi, pembelajaran self-regulated, dan prestasi siswa dalam tugas kelas diuji. Fokus pada penilaian kelas terhadap prestasi siswa merefleksikan pemikiran terhadap indikator tugas akademik yang valid secara ekologis yang harus diselesaikan siswa di kelas sekolah menengah (SMP) (Doyle, 1983). Kebanyakan siswa menghabiskan waktu di kelas untuk tugas di bangku, kuis, ujian yang dibuat oleh guru, tugas di lab, essay, dan laporan-laporan ketimbang dalam ujian prestasi yang terstandarisasi (Stiggins & Bridgeford, 1985). Tugas ini mungkin bukan merupakan penilaian prestasi akademis yang paling kuat secara psikometrik, namun sangat berkaitan dengan realita instruksi dan pembelajaran di dalam kelas (Calfee, 1985). Jika kita ingin mengembangkan model pembelajaran self-regulated dan motivasi siswa yang relevan dengan kebanyakan aktivitas dan tugas akademis di kelas, maka penting halnya menguji prestasi siswa dalam tipe tugas akademik ini (cf., Doyle, 1983; Pintrich dkk., 1986). Dengan demikian, tujuan ketiga adalah memberikan data empiris tentang bagaimana komponen pembelajaran self-regulated dan motivasi dapat berjalan terpisah ataupun berbarengan untuk mempengaruhi prestasi akademik siswa di kelas. Singkatnya, ketiga pertanyaan penelitian tersebut adalah: 1. Bagaimana ketiga komponen motivasional dikaitkan dengan komponen pembelajaran self-regulated? 2. Apakah interaksi antara ketiga komponen motivasional tersebut dan hubungannya dengan komponen pembelajaran self-regulated? 3. Bagaimana komponen pembelajaran self-regulated dan motivasional berkaitan dengan prestasi siswa dalam tugas akademis? Metode Subjek Sampel penelitian terdiri dari 173 siswa kelas-tujuh meliputi delapan kelas Ilmu Pengetahuan dan tujuh kelas Bahasa Inggris dari sekolah di daerah berpenduduk mayoritas kulit putih, kelas menengah, yakni di Michigan bagian timur-selatan (tenggara). Terdapat 100 perempuan (57.8%) dan 73 laki-laki (42.2%). Rerata usia siswa-siswa ini adalah 12,6 tahun di bulan Januari yakni di akhir semester pertama. Distrik sekolah tersebut tidak melakukan penjurusan ke kelas Ilmu Pengetahuan atau Bahasa Inggris di dua SMP yang masuk dalam penelitian ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel siswa dalam penelitian ini meliputi berbagai level prestasi atau raihan. Ukuran Siswa menjawab kuisioner self-report (Motivated Strategies for Learning Questionnaire—MSLQ, lihat Appendix) yang berisi 56 aitem/pertanyaan seputar motivasi siswa, penggunaan strategi kognitif, penggunaan strategi metakognitif, dan manajemen upaya. Siswa-siswa tersebut diinstruksikan untuk memberi respon terhadap jawaban dalam skala Likert 7-titik (1= sama sekali bukan saya hingga 7 = sangat seperti saya) dalam hal perilaku mereka di kelas Ilmu Pengetahuan ataupun kelas Bahasa Inggris. Item pertanyaan diadaptasi dari berbagai instrumen yang digunakan untuk menilai motivasi siswa, penggunaan strategi kognitif, dan metakognisi (misalnya, Eccles, 1983; Harter, 1981; Weinstein, Schulte, & Palmer, 1987). Analisis faktor digunakan untuk mengarahkan konstruksi skala, sehingga mengakibatkan esklusi atau penyisihan beberapa aitem dari skala karena lemah atau tidak adanya korelasi serta struktur faktor yang stabil. Analisis aitem motivasional mengungkap tiga faktor motivasional: self-efficacy, nilai intrinsik, dan kegelisahan ujian. Skala Self-Efficacy (a=0.89) terdiri dari sembilan aitem menyangkut kompetensi dan kepercayaan diri yang dirasakan dalam prestasi atau kinerja tugas di kelas (misalnya “Saya berharap dapat bekerja dengan baik di kelas ini,” “ Saya yakin saya dapat melakukan pekerjaan yang berhasil dalam tugas yang diberikan di kelas ini,” “Saya tahu bahwa saya akan dapat memahami materi di kelas ini”; cf Eccles, 1983; Schunk, 1981). Skala Nilai Intrinsik (a=0.87) disusun dengan menetapkan nilai rerata respon siswa terhadap sembilan aitem berkenaan dengan ketertarikan intrinsik (“saya rasa apa yang kita pelajari dalam kelas Sains ini sangat menarik”) dan kepentingan yang dirasakan dalam tugas kerja (“Penting sekali bagi saya mempelajari apa yang diajarkan dalam kelas Bahasa Inggris ini”; cf., Eccles, 1983) termasuk preferensi terhadap tujuan tantangan dan penguasaan materi (“Saya memilih tugas kelas yang menantang sehingga saya dapat belajar hal baru; cf., Harter, 1981). Empat aitem (misalnya “Saya sangat gugup ketika ujian sehingga saya tidak dapat mengingat apa yang sudah saya pelajari,” “Ketika saya ujian saya merasa seberapa buruk kemampuan saya”; cf., Liebert & Morris, 1967) menyangkut kekhawatiran dan interferensi kognitif terhadap ujian digunakan dalam skala Kegelisahan Ujian (a=0.75). Berdasarkan hasil analisis faktor, dapat disusun dua skala kognitif: penggunaan strategi kognitif dan self-regulation. Skala Penggunaan Strategi Kognitif (a = 0.83) terdiri dari 13 aitem menyangkut penggunaan strategi latihan (misalnya., “Ketika saya membaca materi kelas sains, saya mengulang-ulang kalimat sehingga saya dapat mengingatnya”), strategi elaborasi seperti meringkas dan memparafrasekan (misalnya “Ketika saya belajar di kelas Bahasa Inggris, saya memasukkan gagasan penting ke dalam kata-kata saya sendiri”), dan strategi keorganisasian (misalnya “Saya menggarisbawahi bab-bab di buku saya untuk membantu belajar saya”, cf., Weinstein dkk., 1987). Kendati strategi manajemen upaya dan metakognitif dimaksudkan untuk menjadi skala yang terpisah, namun analisis faktor terhadap aitem-aitem tersebut tidak mendukung konstruksi dua skala yang berbeda. Satu skala yakni Self-Regulation (a=0.74) ditetapkan dari aitem manajemen upaya dan metakognitif. Aitem tentang strategi metakognitif, seperti perencanaan, skimming, dan comprehension monitoring (misalnya “Saya menanyakan diri saya sendiri untuk memastikan saya tahu materi yang sudah saya pelajari,” “Saya merasa ketika guru berbicara saya malah memikirkan hal lain dan tidak benar-benar menyimak apa yang mereka katakan,” dan “Saya sering merasa saya sudah membaca tapi tidak atau belum tahu tentang apa itu,”) diadaptasi dari Weinstein dkk., (1987) dan Zimmerman dan Pons (1986). Strategi manajemen upaya diadaptasi dari Zimmerman dan Pons (1986) dan meliputi persistensi siswa dalam tugas-tugas berat serta membosankan namun tetap bekerja dengan rajin (misalnya, “Meski sedang belajar materi yang sangat membosankan dan tidak menarik, saya tetap bekerja hingga selesai” dan “Ketika pekerjaan tersebut berat saya tidak menyerah atau hanya mempelajari bagian mudah”). Prestasi akademis diukur dengan mengumpulkan data tentang prestasi siswa dalam tugas dan pekerjaan kelas. Pengujian tugas dan pekerjaan kelas di berbagai ruang kelas menunjukkan tiga kategori tugas umum: (a) pekerjaan rumah dan pekerjaan di-bangku kelas (in-class seatwork), (b) kuis dan tes, dan (c) essay dan laporan. Pekerjaan rumah dan pekerjaan in-class biasanya meliputi menjawab soal atau pertanyaan sesuai buku bacaan. Ujian dan kuis memerlukan pengingatan atau rekognisi informasi dari buku seperti dalam tugas seatwork, meski siswa tidak diijinkan membuka buku mereka dalam kuis atau ujian tersebut. Essay dan laporan meliputi tulisan atau prosa asli tentang topik yang ditugaskan oleh guru atau dipilih oleh siswa. Essay dan laporan seringkali mengharuskan siswa menggunakan sumber lain (misalnya buku dan ensiklopedia di perpustakaan) di samping buku-teks untuk menyelesaikan tugasnya. Prestasi atau raihan siswa dalam ketiga tipe tugas ini direratakan dalam cakupan satu semester untuk menghasilkan ringkasan-nilai di masing-masing tugas. Sistem peringkat diberlakukan di semua kelas (biasanya skala 100poin) untuk hasil yang benar dan akurat dalam pekerjaan kelas. Semua guru yang terlibat menggunakan prosedur pemeringkatan (grading) yang memisahkan pemenuhan keperilakuan dan upaya dari kinerja sebenarnya/aktual dengan memberi nilai terpisah dalam hal angka masuk dan partisipasi di dalam kelas. Nilai ini tidak dimasukkan dalam ringkasan tingkat prestasi/kinerja kelas. Distribusi nilai di semua kelas mengikuti sistem individualistik dan criterion-referenced yang memungkinkan semua siswa mampu memperoleh nilai A atau 100 dalam tugasnya (yakni tidak ada guru yang menggunakan “kurva nilai” eksplisit dalam memberikan nilainya). Nilai semester juga diperoleh. Kami mengumpulkan seluruh nilai semester pertama, mengolah MSLQ (Motivated Strategies for Learning Questionnaire), dan mengumpulkan nilai semester dua. Kelima nilai prestasi (seatwork, tes/kuis, essay/laporan, dan nilai kedua semester) distandarisasikan (diubah ke nilai T) dalam setiap kelas sebelum dilakukan analisis data. Hasil Pertanyaan pertama dalam penelitian ini menyinggung hubungan antara komponen pembelajaran self-regulated dan motivasional; hasilnya secara umum seperti yang diperkirakan/diharapkan. Tabel 1 menunjukkan korelasi zero-order dan statistik variabel pembelajaran self-regulated dan motivasional. Seperti yang sudah diprediksikan, tingginya self-efficacy (r=0.33) dan nilai intrinsik (r=0.63) berkorelasi dengan tingginya level penggunaan strategi kognitif. Kegelisahan ujian tidak berkaitan dengan penggunaan strategi kognitif. Secara bersama-sama penggunaan strategi kognitif, lebih tingginya level self-efficacy (r=0.44) dan nilai intrinsik (r=0.73) berkorelasi dengan lebih tingginya self-regulation. Kegelisahan ujian berkorelasi negatif dengan relf-regulation (r= -0.13), meski tidak pada level signifikansi 0.05. Di samping itu, regresi polinomial sederhana dengan bentuk orde kedua dan ketiga (Neter, Wasserman, & Kutner, 1985) untuk kegelisahan ujian menunjukkan tidak ada hubungan kurvalinear antara kegelisahan ujian dengan variabel penggunaan-strategi-kognitif ataupun self-regulation. Table 1 Statistik dan korelasi Zero-Order untuk variable pembelajaran Self-Regulated dan Motivasi 1. Nilai intrinsik 2. Self-efficacy .48* 3. Kegelisahan Ujian -.01 -.34* 4. Penggunaan strategi .63* .33* .04 5. Self-regulation .73* .44* -.13 .83* M 5.44 5.47 3.58 5.20 5.03 SD 0.89 1.00 1.67 0.77 0.83 Note. N= 173. *p<.001. Pertanyaan kedua dalam penelitian ini menyinggung interaksi potensial antara variabel motivasional dalam kedua skala kognitif. Kedua skala kognitif tersebut berkorelasi satu sama lain dan digunakan sebagai variabel terikat (dependen) dalam MANCOVA (nilai semester pertama). Untuk menguji interaksi tersebut, ketiga variabel motivasional didikotomikan dengan median-split sehingga membentuk tiga variabel kategori rendah/tinggi yang akan digunakan sebagai variabel bebas (independen) dalam MANCOVA. Sebelum MANCOVA dijalankan, perbedaan gender diuji dalam analisis awal. Laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan dalam variabel prestasi di kelas ataupun dalam kedua variabel kognitif dan nilai intrinsik. Namun demikian, ada perbedaan gender dalam hal self-efficacy; laki-laki (M= 5.78) memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang perempuan (M= 5.23), r(171)= 3.53, psychosis<0.0005, dan laki-laki (M= 3.19) lebih tidak gelisah ketimbang perempuan (M=3.86), ?(171) = 2.67, p<0.008. MANOVA awal menunjukkan tidak ada pengaruh besar dari gender terhadap kedua variabel kognitif atau pengaruh interaktif dengan ketiga variabel motivasional. Akibatnya, gender disisihkan dari MANCOVA. Dua asumsi MANCOVA diperiksa sebelum analisis dilanjutkan. Uji homogenitas koefisien regresi dari covariate untuk berbagai level variabel motivasional tidak signifikan, yang menunjukkan bahwa koefisien regresi umum adalah tepat untuk covariance dari analisis (Neter, Wasserman, & Kutner, 1985). Di samping itu, uji Box’s M menyangkut homogenitas matrik kovarian tidak signifikan; hal ini memastikan bahwa asumsi krusial dari MANOVA terpenuhi (Stevens, 1986). Hasil dari MANCOVA menunjukkan uji multivariat yang signifikan terhadap covariate capaian sebelumnya, statistik Hotelling = 0.05, S=1, M=0, N=80, F(2,163) = 3.97, p<0.02. Uji univariat menunjukkan bahwa capaian sebelumnya merupakan pemrakira (predictor) signifikan dari self-regulation, r=0.17, F(1,164)=4.80, p<0.03, MSe=0.38, tapi tidak untuk penggunaan strategi kognitif, r=0.04, F(1,164)=0.27, p<0.61, MS=0.43. Siswa yang mencapai nilai tinggi lebih menunjukkan penggunaan strategi self-regulation ketimbang siswa yang berkinerja rendah, tapi dalam hal ini tidak ada perbedaan dalam penggunaan strategi kognitif mereka. Ada dua pengaruh utama dari variabel motivasional. Uji multivariat untuk self-efficacy terlihat signifikan, statistik Hotelling = 0.05, S=1, M=0, N=80, F(2,163) = 4.07, p<0.02. Uji univariat keduanya juga signifikan. Siswa yang tinggi dalam self-efficacy lebih cenderung menunjukkan penggunaan strategi kognitif, adjusted M=5.41, F(1,164) = 4.24, p<0.04, MS, = 0.043, dan strategi self-regulatory, adjusted M=5.31, F(1,164)=8.16, p<0.005, MSt=0.38, ketimbang siswa yang rendah dalam self-efficacy (strategi kognitif adjusted M =4.97; self-regulation adjusted M=4.74). Pengaruh utama lainnya meliputi nilai intrinsik dengan uji multivariat yang signifikan, statistik Hotelling = 0.42, S=1, M=0, N=80, F(2,163)=34.25, p<0.0001. Kedua uji univariat juga signifikan. Siswa yang tinggi dalam nilai intrinsik lebih cenderung menggunakan strategi kognitif, adjusted M=5.58, F(1,164)=45.93, p<0.0001, MS=0.43, dan juga strategi self-regulating, adjusted M=5.49, F(1,164)=68.40, p<0.0001, MS, =0.38, ketimbang siswa yang rendah dalam nilai intrinsik (strategi kognitif, adjusted M=4.80, self-regulation, adjusted M=4.56). Pengaruh utama terhadap kegelisahan ujian tidak signifikan baik di level univariat ataupun multivariat, termasuk tidak ada juga bentuk interaksi variabel motivasional. Pertanyaan ketiga dalam penelitian menyinggung bagaimana variabel kognitif dan motivasional berkaitan dengan prestasi siswa. Tabel 2 menunjukkan korelasi zero-order untuk variabel prestasi, kognitif, dan motivasional. Seperti yang diprediksikan, lebih tingginya level nilai intrinsik dan self-efficacy memiliki hubungan dengan lebih tingginya level raihan siswa di semua tipe tugas (lihat Tabel 2). Tingginya level kegelisahan ujian hanya berkaitan signifikan dengan lebih rendahnya raihan dalam ujian (latihan soal) dan kuis (r= -0.21) termasuk nilai pada kali pertama (r= -0.24) dan dua (r= -0.23), tapi tidak untuk raihan dalam tugas seatwork atau essay dan tugas laboratorium. Di samping itu, lebih tingginya level penggunaan strategi kognitif dan self-regulation memiliki hubungan dengan lebih tingginya raihan di semua tugas, dengan pengecualian raihan tugas seatwork dan penggunaan strategi kognitif (lihat Tabel 2). Semua ukuran prestasi tersebut secara signifikan dan positif berkaitan satu sama lain, menunjukkan bahwa level prestasi relatif stabil seiring waktu. Karena nilai semester pertama dan kedua sangat berkorelasi (r=0. 77), satu ukuran, rerata nilai kedua semester digunakan dalam analisis ini. MANOVA dengan empat ukuran prestasi sebagai variabel dependen, mengikuti logika analisis sebelumnya untuk kedua variabel kognitif semakin dipertegas karena uji homogenitas matrik kovariannya signifikan. Dengan demikian, untuk menguji hubungan independen antara variabel kognitif dan motivasional dalam kinerja siswa, empat analisis regresi dijalankan dengan tiga variabel motivasional dan dua variabel kognitif sebagai pemrakira prestasi siswa dalam seatwork, ujian/kuis, essay/laporan, dan rerata nilai pelajaran. Table 2 Korelasi Zero-Order antara Variabel Pembelajaran Self-Regulated dan Motivasi Serta Prestasi Nilai Seat- Ujian/ Essay/ Nilai Variabel 1 work Kuis Laporan 2 Komponen motivasi Nilai intrinsic .25** .21** .20** .27** .30*** Self-efficacy .34*.. .19* 24*. .25** .36*** Komponen pembelajaran Test anxiety Self-regulated -.24** -.14 -.21** -.14 -.23** Penggunaan strategi .18* .07 .20** .19* .20** Self-regulation .32*** .22** .28** .36*** .36*** Note. /V= 173. *p<.Q5. **p<.01 . ***/?< .001. Analisis regresi terhadap raihan seatwork (r2 =0.10) menunjukkan bahwa self-regulation berkaitan positif dengan prestasi seatwork (partial r=0.18, p<0.02). Di samping itu, sedikit mengejutkan, penggunaan strategi kognitif berkaitan negatif dengan prestasi seatwork (partial r = -0.18, p<0.02). Ketiga variabel motivasional tidak berkaitan signifikan dengan prestasi seatwork ketika dimasukkan dalam analisis regresi dengan kedua variabel kognitif. Untuk ujian/kuis (r2=0.12), kegelisahan ujian berkaitan negatif dengan prestasi (partial r= -0.19, p<0.02) dan self-regulation berkaitan positif (partial r = 0.26, p<0.0005). Penggunaan strategi kognitif, self-efficacy, dan nilai intrinsik tidak menjadi pemrakira signifikan terhadap prestasi (latihan) ujian dibandingkan dengan kegelisahan ujian dan self-regulation. Hasil untuk essay/laporan (r2= 0.17) menunjukkan pola yang sama dengan yang ditunjukkan pada seatwork. Tidak ada variabel motivasional yang signifikan, namun self-regulation (partial r= 0.22, p<0.004) berkaitan positif dengan prestasi, sementara penggunaan strategi kognitif berkaitan negatif (partial r= -0.17, p<0.02). Analisis regresi terhadap rerata nilai (r2= 0.22) menunjukkan bahwa pemrakira signifikannya adalah self-efficacy (partial r=0.18, p<0.02) dan self-regulation (partial r=0.22, p<0.005). Analisis varian (ANOVA) dengan variabel motivasional dan kognitif sebagai variabel independen dikotomi tidak menunjukkan interaksi dua atau tiga-arah dalam keempat ukuran hasil prestasi siswa. Penemuan bahwa penggunaan strategi kognitif (yang memiliki korelasi zero-order positif dan signifikan dengan kebanyakan ukuran prestasi [tabel 2]) memiliki beta dan korelasi parsial negatif dengan prestasi ketika self-regulation dimasukkan dalam persamaan regresi, menunjukkan bahwa pengaruh supresor memang berjalan. Pengujian lebih jauh terhadap korelasi zero-order, beta, dan parsial antara penggunaan strategi kognitif, self-regulation, dan ukuran kinerja mengikuti prosedur untuk mendeteksi variabel supresor (misalnya Conger, 1974; Tzelgov & Stern, 1978) menunjukkan bahwa penggunaan strategi kognitif dapat diklasifikasikan sebagai variabel supresor negatif. Penggunaan strategi kognitif dan self-regulation sangat berkorelasi satu sama lain (r=0.83) dan self-regulation adalah pemrakira lebih baik dalam hal kinerja atau prestasi. Ketika varian dalam prestasi akibat self-regulation diperhitungkan, varian tersisa yang berkorelasi dengan penggunaan strategi kognitif menunjukkan hubungan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa siswa yang melaporkan bahwa mereka sering menggunakan strategi kognitif juga melaporkan jarang menggunakan strategi self-regulation. Pengujian jumlah siswa sebenarnya yang menunjukkan pola ini menunjukkan bahwa 14 siswa (8% dari sampel) dapat diklasifikasikan berada di tiga-teratas dalam penggunaan strategi kognitif dan tiga-terbawah dalam self-regulation. Two-way ANOVA tidak menunjukkan interaksi signifikan antara penggunaan strategi kognitif (tiga level) dan self-regulation (tiga level), namun grup yang rendah dalam self-regulation dan tinggi dalam penggunaan strategi kognitif secara konsisten memiliki rerata ukuran prestasi tepat di bawah 50.0 rerata sampel total (seatwork M=45.6, ujian M=47.3, essay M=42.0, rerata nilai M=43.2) atau untuk rerata grup lain yang semuanya di atas 46.2. Pembahasan Hasil di sini memberikan dasar empiris bagi spesifikasi dan elaborasi hubungan teoritis antara perbedaan individu dan orientasi motivasional siswa serta cognitive-engagement mereka dan self-regulation dalam situasi kelas (cf., Corno & Mandinach, 1983; Snow, 1989; Weinert, 1987). Komponen motivasional dikaitkan dengan cognitive-engagement serta prestasi akademik siswa di kelas. Self-efficacy berkaitan positif dengan cognitive-engagement dan prestasi siswa tersebut. Siswa yang yakin mereka mampu menunjukkan penggunaan strategi kognitif, lebih self-regulated dalam menyatakan penggunaan lebih banyak strategi metakognitif, dan bertahan lebih dalam tugas tugas akademik yang berat. Hubungan ini tidak terikat dan tidak berinteraksi dengan level raihan sebelumnya ataupun nilai intrinsik serta kegelisahan ujian. Namun demikian, self-efficacy tidak berkaitan signifikan dengan prestasi dalam seatwork, ujian, atau essay ketika variabel cognitive-engagement dimasukkan dalam analisis regresi. Penemuan ini menunjukkan bahwa self-efficacy memainkan peran fasilitatif (menjembatani) dalam hubungan terhadap cognitive-engagement seperti yang dikemukakan oleh Schunk (1985), tapi variabel cognitive-engagement lebih berkaitan/terikat langsung dengan prestasi aktual. Ini menunjukkan bahwa mengajarkan kepada siswa tentang berbagai strategi kognitif dan self-regulatory dapat lebih penting di dalam upaya memperbaiki prestasi aktual dalam tugas akademik di kelas, namun memperbaiki keyakinan siswa tentang self-efficacy tersebut bisa jadi berujung pada penggunaan yang lebih banyak dalam strategi kognitif ini (cf., Borkowski, Weyhing, & Carr, 1988; Garner & Alexander, 1989; Schunk, 1985). Nilai intrinsik sangat berhubungan erat dengan penggunaan strategi kognitif dan self-regulation, terlepas dari level prestasi awal atau self-efficacy dan kegelisahan ujian. Siswa yang termotivasi untuk mempelajari materi (tidak saja untuk memperoleh nilai baik) dan yakin bahwa tugas sekolahnya sangat menarik dan penting cenderung lebih bertindak secara kognitif dalam usaha mempelajari dan memahami materi tersebut. Di samping itu, siswa ini cenderung self-regulated dan menunjukkan bahwa mereka tetap bertahan dalam tugas akademiknya. Penting halnya memperhatikan bahwa nilai intrinsik tidak memiliki hubungan langsung yang signifikan terhadap prestasi siswa dalam regresi yang memasukkan penggunaan strategi kognitif atau self-regulation. Variabel kognitif, terutama self-regulation merupakan pemrakira yang lebih baik terhadap prestasi akademik aktual. Penemuan ini sejalan dengan penelitian Eccles (1983) yang menemukan bahwa komponenn nilai tidak memiliki pengaruh langsung terhadap raihan siswa dalam matematika tapi berkaitan erat dengan pilihan siswa tersebut terhadap materi matematika di masa mendatang. Dengan cara yang sama, data kami di sini juga menunjukkan bahwa nilai intrinsik merupakan komponen penting dalam “pilihan” siswa tentang bertindak-secara-kognitif dalam tugas akademik di kelasnya. Kendati data korelasi kami tidak dapat merujuk kausalitasnya, namun terlihat bahwa siswa yang memilih bertindak-kognitif dan self-regulated adalah yang tertarik dengan tugas yang mereka kerjakan di kelas. Dengan demikian, nilai intrinsik serta motivasi siswa untuk belajar adalah komponen penting yang harus dipertimbangkan dalam model kami tentang bagaimana siswa mulai menggunakan berbagai strategi kognitif dan menjadi pembelajar yang self-regulating (cf., Meece dkk., 1988; Nolen, 1988). Di samping itu, hasil ini menunjukkan bahwa penting halnya bagi pendidik (guru) untuk mensosialisasikan nilai intrinsik dari tugas sekolah kepada siswa (cf., Brophy,1983; Corno & Rohrkemper, 1985), bukan karena hal tersebut lantas akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi dalam tugas akademik atau ujian terstandarisasi secara langsung, melainkan karena hal itu dapat menghasilkan lebih banyak aktivitas/tindakan kognitif dalam tugas sehari-hari di kelas. Kegelisahan ujian tidak berkaitan signifikan baik secara linear ataupun non-linear dengan penggunaan strategi kognitif atau self-regulation, tapi berkaitan negatif dengan self-efficacy dan prestasi dalam ujian dan kuis. Hubungan linear antara kegelisahan ujian dan self-regulation (meski tidak signifikan) memiliki arah seperti diperkirakkan; siswa yang sangat-gelisah menunjukkan self-regulation dan persistensi yang lebih rendah (cf., Hill & Wigfield, 1984). Hubungan langsung antara kegelisahan ujian dan prestasi ujian serta kurangnya interaksi antara kegelisahan ujian dan self-regulation menunjukkan bahwa (untuk sampel siswa ini) pengaruh kegelisahan ujian berkaitan dengan masalah retrieval di waktu ujian ketimbang kurangnya strategi kognitif yang efektif untuk memahami atau mengorganisir materi pelajaran. Interpretasi ini sejalan dengan model kognitif kegelisahan ujian (misalnya Benjamin, McKeachie, &Lin, 1987; Tobias, 1985) yang mengemukakan bahwa untuk beberapa siswa yang gelisah-dengan-ujian yang sebenarnya memiliki skil kognitif yang memadai, kegelisahan ujian selama ujian menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuannya yang bercampur-aduk dengan kinerja efektif. Interpretasi ini lebih jauh didukung oleh hubungan negatif antara self-efficacy dan kegelisahan ujian dalam sampel ini. Penemuan dalam variabel kognitif menjadi data yang valid secara ekologi dalam hal prestasi akademik dalam tugas kelas dan mendukung model umum pembelajaran self-regulated. Siswa yang lebih bertindak-kognitif dalam upaya mempelajari dengan mengingat, mengorganisir, dan menterjemahkan materi melalui latihan, elaborasi, dan strategi kognitif keorganisasian memiliki kinerja yang lebih baik ketimbang siswa yang cenderung tidak menggunakan strategi ini (Corno dan Mandinach, 1983; Weinstein & Mayer, 1986). Yang lebih penting, penemuan bahwa self-regulation adalah pemrakira terbaik dalam hal prestasi akademik di semua ukuran hasil menunjukkan bahwa penggunaan strategi self-regulating, seperti comprehension monitoring (pantauan pemahaman), goal setting(penetapan tujuan), planning(perencanaan), manajemen upaya dan persistensi merupakan hal yang pokok bagi prestasi akademik di berbagai tipe tugas kelas (Corno, 1986; Zimmerman & Pons, 1986, 1988). Self-regulation sangat berkaitan dengan penggunaan strategi kognitif, namun kedua konstruk tersebut dapat dibedakan secara konseptual, dan ketika dimasukkan sebagai pemrakira prestasi akademik, penggunaan strategi kognitif memiliki hubungan negatif terhadap prestasi. Pengaruh supresor negatif yang tampak jelas dimiliki oleh penggunaan strategi kognitif terhadap prestasi akademik ini menunjukkan bahwa penggunaan strategi kognitif tanpa dibarengi strategi self-regulatori sama sekali tidak kondusif bagi prestasi akademik. Interpretasi ini sejalan dengan penelitian tentang metakognisi dan self-regulation yang menunjukkan bahwa siswa harus dapat memahami tidak saja “apa” itu strategi kognitif, tetapi juga bagaimana dan kapan menggunakannya dengan tepat (cf., Brown dkk., 1983; Paris dkk., 1983; Pressley, 1986). Namun demikian terdapat beberapa keterbatasan dalam penemuan ini. Pertama, semua komponen kognitif dan motivasi siswa diukur dengan instrumen self-report. Self-report dapat digunakan seara efektif untuk mengukur persepsi siswa terhadap motivasi dan cognitive-engagement (misalnya Ames&Archer, 1988; Meece dkk., 1988; Weinstein dkk., 1987), tapi hasilnya masih perlu direplikasi dengan ukuran lainnya, seperti protokol thinkaloud, prosedur stimulated-recall, wawancara terstruktur, atau ukuran keperilakuan (cf., Garner&Alexander, 1989; Zimmerman & Pons, 1986). Pengaruh supresor negatif dari penggunaan strategi kognitif dapat merefleksikan masalah metodologis yang ada dalam penggunaan instrumen self-report untuk menilai penggunaan strategi kognitif dengan siswa SMP. Di samping itu, terlihat jelas dari level varian moderat dalam ukuran prestasi bahwa ada faktor lain yang berimplikasi terhadap prestasi akademik siswa di dalam kelas. Sebagai contoh, prestasi seatwork dapat merefleksikan keinginan siswa untuk patuh dalam aturan/norma kelas tetnang penyelesaian tugas dan praktek penilaian guru dalam hal kepatuhan/ketaatan perilaku siswa tersebut (misalnya., Blumenfeld, Pintrich, & Hamilton, 1987; Hamilton, Blumenfeld, &Kunstler, 1987). Faktor pengetahuan siswa, termasuk jumlah dan organisasi pengetahuan sebelumnya belum dinilai, dan hal tersebut berhubungan dengan prestasi akademik dan dapat berinteraksi dengan penggunaan strategi kognitif dan metakognitif (Alexander & Judy, 1988). Terakhir, hubungan ini dapat beragam sesuai dengan tugas kelas dan variabel konteksnya. Berbagai hubungan antara komponen pembelajaran self-regulated dan motivasional dengan prestasi akademik dapat diperoleh dalam sittuasi kelas yang berbeda dan memiliki ragam tugas kelas (misalnya Ames&Archer, 1988; Doyle, 1983). Jelasnya, diperlukan penelitian kelas yang lebih valid tentang hubungan multivariat antara prestasi akademik siswa dan orientasi motivasional serta pembelajaran self-regulated termasuk faktor pengetahuan dan kognitif sosial di berbagai konteks kelas. Ringkasnya, hasil ini memberikan bukti empiris yang valid tentang pentingnya memperhatikan komponen pembelajaran self-regulated dan motivasional dalam model prestasi akademi di kelas. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran self-regualted sangat berkaitan dengan keyakinan kemampuan siswa tentang kecakapan mereka menjalankan tugas kelas serta keyakinan bahwa tugas kelas adalah hal yang menarik dan patut dipelajari. Pada saat yang sama, keyakinan motivasonal ini tidak cukup memadai bagi keberhasilan prestasi akademi; komponen pembelajaran self-regulated terlihat berimplikasi langsung terhadap prestasi. Siswa harus memiliki “niat” dan “ketrampilan” (will dan skill) agar berhasil di kelas (cf., Blumenfeld, Pintrich, Meece, &Wessels, 1982; Paris dkk., 1983; Pintrich, 1989), dan kita harus mengintegrasikan komponen ini dalam model pembelajaran kelas.
0 komentar:
Posting Komentar