PERAN KONFLIK PERAN GANDA KARYAWATI (IBU) DAN PERSEPSI PENGEMBANGAN KARIR DENGAN STRES KERJA KARYAWATI PT. APAC INTI CORPORA SEMARANG Andi Asmara SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2007 A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres Kerja Robins (2004) memandang stres sebagai kondisi dinamis individu yang dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constraint) atau tuntutan (demand) yang dikaitkan dengan hal-hal yang diinginkan da n hasilnya dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak pasti namun penting untuk diadakan. Pendapat lain dikemukakan Handoko dan Reksohadiprodjo (2001) yang mengatakan bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir , dan kondisi individu. Lebih lanjut disebutkan bahwa stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sarafino (1998) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang dihasilkan ketika terjadi transaksi antara orang dengan lingkungan yang menunjukkan individu merasa ketidakcocokan – apakah nyata atau tidak nyata – diantara permintaan situasi dan sumber -sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial dari seseorang. Jex et al. (1999) mendefinisikan stres kerja melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan stimulus, respon dan interaksional. Stres kerja sebagai stimulus memandang stres adalah suatu kondisi yang memunculkan tuntutan berupa suatu bentuk respon tertentu. Stres kerja sebagai respon adalah suatu reaksi individu yang mengakibatkan tekanan dan penyimpangan baik fisiologis, psikologis dan atau perilaku pada seseorang dalam suatu organisasi yang menimbulkan ketidaknyamanan. Stres kerja sebagai interaksi stimulus-respon adalah stres bersumber dari interaksi antara stresor pekerjaan dengan respon terhadap stresor tersebut. Munandar (2001) memberikan suatu penegasan bahwa stres selalu berkaitan dengan pengungkapan seluruh kecenderungan lahiriah, yang timbulnya karena ada tuntutan pada setiap bagian tubuh dan hal ini tid ak dapat dihindari oleh manusia. Lebih lanjut Maramis (1998) berpendapat bahwa stres adalah segala masalah atau tuntutan penyelesaian diri, yang bila tidak diatasi dengan baik akan mengganggu keseimbangan hidup dari manusia. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan karyawan. 2. Sumber Stres Kerja Menurut Erita (2001) bahwa stres kerja dapat berasal dari: a. Kondisi kerja, meliputi beban kerja yang berlebihan, atau beban kerja yang kurang, pengambilan keputusan, kondisi fisik yang berbahaya dan pembagianwaktu kerja. b. Ambiguitas dalam menempatkan peran (konflik peran). Hal ini biasanya terjadi pada organisasi yang besar dan struktur oraganisasinya yang kurang baik. Karyawan kadang-kadang tidak tahu apa sebenarnya yang diharapkan perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah yang jelas. Kondisi ini akan menjadi ancaman bagi karyawan yang berada pada masa karir tengah baya karena harus berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya dapat menurunkan kinerja, meningkatkan ketidakpuasan kerja, kecemasan, ketegangan dan keinginan keluar dari pekerjaan. Kondisi seperti ini tentu menghadirkan konflik yang harus dapat diatasi agar tidak menimbulkan stres. c. Faktor interpersonal. Hubungan interpersonal dalam pekerjaan merupakan faktor penting untuk mencapai kepuasan kerja. Adanya dukungan sosial dari rekan sekerja, maupun keluarga diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada kepedulian pihak manajemen pada karyawan agar selelu tercipta hubungan yang harmonis. d. Pengembangan karir. Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian yang dapat menimbulkan gejala perilaku stres. Selain itu menurut Lambert, et al., (2004) bahwa pada wanita yang bekerja dan berkeluarga akan mengalami konflik ganda yaitu konflik kerja dan konflik peran dalam rumah tangga, dan hal ini menyebabkan wanita (istri) lebih rentan terkena stres dibading suami atau pria. Nelson dan Burke (2002) menyebutkan bahwa sumber stres dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Sumber stres dari organisasi, meliputi : 1) Stereotype gender. Asumsinya karyawan wanita akan diperlakukan diskriminasi dibanding karyawan pria pada persoalan karir, karena pria merupakan penanggung jawab rumah tangga keluarga. 2) Komitmen, motivasi, dan tanggung jawab. Menurut Nelson dan Burke bahwa wanita kurang berkomitmen, motivasi, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan dibading karyawan pria. 3) Karyawan minoritas. Karyawan minoritas baik itu bersifat etnis ataupun agama akan merasa terkucilkan dibanding rekan -rekan kerja lain, dan ini akan menyebabkan timbulnya stres kerja. 4) Struktur dan Budaya organisasi. Struktur dan budaya organisasi yang bersifat family business dan masih bersifat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minimnya akan kejelasan struktur, peran, wewenang, dan tanggung jawab, terlalu kakunya struktur kerja atau malah tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi stres. 5) Jaringan bisnis. Pria lebih bersifat status quo dibanding wanita pada persoalan jaringan bisnis. Hal ini dibuktikan oleh Suartini dan Pursika, (2006) yang menemukan bahwa pada parta politik wanita hanya mengisi jabatan bersifat gender seperti sekretaris, bendahara, dan kepala biro wanita. Sedangkan pria sanga t dominan pada jabatan-jabatan lain. hal ini akan membuat wanita menjadi lebih stres dibading pria. b. Sumber stres dari individu meliputi : 1) Harga diri. Pria memandang harga dirinya lebih tinggi dibanding wanita, karena ia merasa lebih bertanggung jawab dibanding wanita pada persoalan rumah tangga. Selain itu karyawan yang tidak mampu menghargai dirinya sendiri akan dikucilkan oleh karyawan lain. 2) Self efikasi. Karyawan yang tidak memiliki kepercayaan diri akan lebih mudah terkena stres dibading karyawan yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. 3) Personal kontrol. Seseorang diharapkan dapat memiliki personal kontrol, hal tersebut dimaksudkan agar individu dapat mengkontrol segala sesuatu yang dia hadapi agar tidak terjadi berlebihan pada dirinya serta menjaga timbulnya stres ditempat ia tinggal dan bekerja. 4) Dukungan suami (marital support). Karyawan wanita yang bekerja tanpa dukungan suami akan menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya Greenglass, et al. (2006) menyebutkan bahwa dukungan suami merupakan kemampuan suami untuk membantu istri berupa informasi, nasehat, atau sesuatu yang dapat membesarkan hati agar istri lebih aktif untuk menyelesaikan masalah yang dia hadapi. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi stres kerja yang berlebihan. Robins (2004) juga menjelaskan bahwa setiap individu yang mempunyai ragam latar belakang kehidupan pribadi berbeda -beda dapat berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja karyawan karena faktor -faktor dalam kehidupan pribadi individu tidak dapat lepas dari lingkungan kerja dimana ia bekerja. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa timbulnya stres kerja dapat ditimbulkan oleh kondisi kerja, konflik peran, faktor interpersonal, pengembangan karir, konflik peran ganda, dukungan suami, harga diri, self efikasi, personal kontrol, stereotiype gender, komitmen, motivasi, tanggung jawab, karyawan minoritas, struktur dan budaya organisasi, serta jaringan bisnis. Pada penelitian ini difokuskan pada pengaruh konflik pe ran ganda karyawati (ibu) dan persepsi pengembangan karir dengan stres kerja yang terjadi pada karyawati. 3. Aspek-aspek Stres Kerja. Lingkungan kerja dapat mengakibatkan stres yang positif atau menguntungkan bagi individu yang mengalaminya dan juga dapat mengakibatkan dampak negatif atau merugikan bagi yang mengalaminya. Semua itu tergantung dari individu yang mengalaminya, karena stres mempunyai pengaruh berbeda- beda pada diri seseorang dan tida k semua orang sama kondisinya jika mengalami stres. Menurut Shultz dan Shultz (1994) dan Robbins (2004) aspek-aspek stres kerja meliputi: a. Deviasi fisikologis. Deviasi fisikologis dapat dilihat pada orang yang terkena stres antara lain adalah sakit kepala, pusing, pening, tidak tidur teratur, susah tidur, bangun terlalu awal, sakit punggung, susah buang air besar, sembelit, gatal gatal pada kulit, tegang, pencernaan terganggu, tekanan darah naik atau serangan jantung, keringat berlebihan, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya energi, kesalahan atau kekeliruan dalam kerja, gugup, mudah luka, gangguan pernafasan, migrain, dan ketegangan otot. b. Deviasi psikologis. Deviasi psikologis mencakup (sedih, depresi, mudah menangis, hati merana, mudah marah, dan panas, gelisah, cemas, rasa harga diri menurun, merasa tidak aman, terlalu peka, mudah tersinggung, marah-marah, mudah menyerang, bermusuhan dengan orang lain, tegang, bingung, meredam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, mengasingkan diri, kebosanan, ketidakpuasan kerja, lelah mental, kehilangan spotanitas dan kreativitas, dan kehilangan semangat hidup). c. Deviasi perilaku. Deviasi perilaku mencakup mencakup (kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau menyerang orang lain, terlalu membentengi atau mempertahankan diri, meningkatkan penggunaan minuman keras dan mabuk, sabotase, meningkatmya agresivitas dan kriminilitas). Mahfud (1999) lebih rinci menjelaskan bahwa stres dapat menimbulkan ganguan emosional, ganguan fungsi berpikir, gangguan aktivitas fisiologis, dan gangguan sosial. a. Gangguan emosional, yaitu ada tidaknya simptom stres berupa perasaan cemas, gelisah, sedih, depresi, marah, gugup, atau perasaan bersalah. Emosi stres yang paling sering terjadi adalah kecemasan dan depresi yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, gelisah, pesimis, merasa tidak berguna, dan kelelahan yang sangat. b. Gangguan fungsi berpikir, yaitu ada tidaknya gangguan pada kemampuan berpikir yang berupa konsentrasi, pemikiran yang negatif, ingatan, dan gangguan mimpi buruk. c. Gangguan aktivitas fisiologis, terbagi dalam dua kelompok yaitu : 1) Skeletal muscle symptoms, meliputi sakit kepala, mulut terasa kering, perasaan tegang dan gugup, tubuh terasa lemas, dada terasa nyeri, serta perasaan goyah. 2) Symptoms of visceral (simptom organ dalam), seperti tangan dan kaki dingin, kehilangan gairah seksual, jantung berdebar-debar, nafas terasa sesak, perut terasa mual, kejang-kejang, dan tangan bergetar. d. Gangguan sosial. Stres selain terwujud dalam berbagai macam penyakit, dapat pula terungkap dalam ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja dapat berpengaruh pada ganguan fisioligis , psikologis, dan perilaku individu. Untuk masing-masing individu tidak memiliki reaksi yang sama terhadap timbulnya stres kerja. A. Variabel Penelitian 1. Variabel Terikat Variabel Terikat dalam penelitian ini ialah stres kerja 2. Variabel Bebas Variabel Bebas dalam penelitian ini adalah : a. Konflik peran ganda b. Pengembangan karir B. Definisi Operasional 1. Stres Kerja Stres kerja merupakan dampak negatif dari tuntutan pekerjaan berupa diviasi fisikologis, deviasi psikologis, dan deviasi perilaku yang dialami karyawan. Adapun aspek-aspek stres kerja yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan teori Robbins (2004) dan Schultz dan Schultz (1994) yang meliputi diviasi fisikologis, deviasi psikologis, dan deviasi perilaku. Stres kerja individu ditunjukkan oleh skor subjek penelitian, semakin tinggi skor yang diperoleh subjek penelitian berarti semakin tinggi stres kerja yang di alami karyawan. Kemudian semakin rendah skor yang diperoleh subjek penelitian berarti semakin rendah stres kerja yang di alami karyawan. Selain itu penentuan gangguan stres yang di alami oleh individu adalah dengan melihat deviasi stres yang dominan dalam diri individu yang ditunjukkan oleh skor atau nilai tertinggi. D. Metode Pengmpulan Data Metode pengum pulam data yang dimaksud pada penelitian ini adalah menggunakan data pribadi subjek dan alat pengukuran atau instrumen. Alat pengukuran atau instrumen yang digunakan ada tiga macam, yaitu alat ukur stress kerja, pengembangan karir, dan konflik peran ganda. Skala pengukuran tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Stres Kerja Alat ukur stres kerja merupakan pengembangan dari teori Robbins (2004) yang terdiri dari gangguan psikologis, gangguan fisiologis, dan perilaku. Skala stres kerja disusun mengacu kepada skala Likert dengan empat jenjang penelitian yaitu STS (sangat tidak sesuai), TS (tidak sesuai), S (sesuai), dan SS (sangat sesuai). Penilaian penelitian ini bergerak dari empat sampai satu. Untuk aitem yang favorable, nilai empat diartikan sangat sesuai, nilai tiga diartikan sesuai, nilai dua diartikan tidak sesuai, dan nilai satu diartikan sangat tidak sesuai. Untuk nilai unfavorable nilai empat diartikan sangat tidak sesuai, nilai tiga diartikan tidak sesuai, nila i dua sesuai, dan nilai satu diartikan sangat sesuai. Nilai yang diperoleh subjek menunjukkan tingkat stres kerja yang dimiliki, semakin tinggi skor yang diperoleh, berarti semakin tinggi pula stres kerja yang dialami subjek. Begitupun sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subyek, semakin rendah pula tingkat stres kerja yang dialami subjek. Adapun sebaran aitem stres kerja dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini: Tabel 1. Sebaran Item Skala Stres Kerja Aspek-aspek Nomor Item No Jumlah Stres Kerja Favourable Unfavourable 1 Fisiologis 1, 7, 13, 19, 25, 31 4, 10, 16, 22, 28, 34 12 2 Psikologis 2, 8, 14, 20, 26, 32 5, 11, 17, 23, 29, 35 12 3 Perilaku 3, 9, 15, 21, 27, 33 6, 12, 18, 24, 30, 36 12 Total 18 18 36 E. Validitas dan Reliabilitas Uji validitas alat ukur bertujuan untuk mengetahui sejauhmana skala yang digunakan mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2004). Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity), validitas butir, dan validitas konstruksi teoritis (construct validity). Validitas isi ditentukan melalui pendapat profesional dalam telaah aitem dengan menggunakan spesifikasi tes yang telah ada. Validitas butir bertujuan untuk mengetahui apakah butir atau aitem yang digunakan baik atau tidak, yang dilakukan dengan mengkorelasikan skor butir total. Sedangkan validitas konstruksi teoritis bertujuan untuk mengetahui apakah skor hasil alat ukur mampu merefleksikan konstruksi teoritis yang mendasari penyusunan alat ukur. Uji validitas ini dilakukan dengan analisis faktor. Adapun reliabilitas menunjukkan konsistensi atau keterpercayaan hasil pengukuran suatu alat ukur. Hal ini ditunjukkan konsistensi skor yang diperoleh subjek yang diukur dengan alat yang sama (Azwar, 2004; Suryabrata, 2002). Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien reliabilitas, dengan angka antara 0 sampai 1,00. Semakin tinggi koefisien mendekati angka 1,00 berarti reliabilitas alat ukur semakin tinggi. Sebaliknya alat ukur yang rendah ditandai oleh koefisien reliabilitas yang mendekati angka 0 (Azwar, 2004). Uji reliabilitas dilakukan dengan konsistensi internal yaitu dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach. Alasan penggunaan teknik Alpha Cronbach karena dapat digunakan untuk menguji skala ataupun tes dengan tingkat kesukaran yang seimbang atau hampir seimbang dan dapat digunakan untuk butir-butir dikotomi atau nirdikotomi (Hadi, 2004). F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Skala Stres Kerja Skala stres kerja terdiri dari 36 butir dan terbagi dalam 3 faktor. Hasil analisis butir berdasarkan Modul Uji Kesahihan Butir menunjukkan bahwa terdapat 16 butir yang gugur. Nama Konstrak : Stres Kerja Nama Faktor 1 : Fisiologis Nama Faktor 2 : Psikologis Nama Faktor 3 : Perilaku Tabel 4. Rangkuman Analisis Kesahihan Butir (N = 90) rbt sahih p butir sahih Jumlah Jumlah Butir Jumlah Faktor terendah - tertinggi - Butir Awal Gugur Butir Sahih tertinggi terendah 1 12 6 6 0.179 – 0.526 0.044 – 0.000 2 12 6 6 0.227 – 0.378 0.015 – 0.000 3 12 4 8 0.312 – 0.528 0.002 – 0.000 Uji keandalan yang dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach’s menunjukkan bahwa semua faktor andal dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Rangkuman Analisis Keandalan Instrumen Jumlah Butir Koef. Keandalan Faktor p Status Sahih (rtt) 1 6 0.630 0.000 Andal 2 6 0.581 0.000 Andal 3 8 0.710 0.000 Andal Hasil uji kesahihan faktor-faktor konstrak diketahui bahwa semua faktor adalah sahih. Selengkapnya tercantum dalam Tabel 6. Tabel 6. Rangkuman Analisis Kesahihan Faktor Jumlah Koef. Kesahihan Sumbangan Faktor p Status Butir Sahih (rbt) Efektif 1 6 0.413 0.000 Sahih 31.791 2 6 0.469 0.000 Sahih 27.924 3 8 0.295 0.002 Sahih 40.285 G. Tek nik Analisis Data Data yang diperoleh dari subjek penelitian yaitu: stres kerja, konflik peran ganda, dan pengembangan karir akan dianlisis dengan menggunakan analisis statistik regresi. Analisis ini digunakan mengingat data yang diperoleh dari ketiga alat ukur ini berbentuk angka-angka yang merupakan data kuantitatif. Data yang berupa angka ini memerlukan pengolahan yang lebih lanjut agar memiliki makna dan manfaat yang sesuai dengan tujuan penelitian. Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi: uji normalitas sebaran, dan uji linieritas hubungan. Untuk menganalisis hipotesis mengenai hubungan antara stres kerja , konflik peran ganda, dan pengembangan karir karyawan. Teknik analisis data yang akan digunakan adalah analisis regresi. Teknik ini digunakan untuk mencari korelasi dua atau lebih variabel bebas (X) atau disebut dengan prediktor dengan variabel terikat (Y) yang disebut kriterium (Hadi, 2004). Analisis regresi ini digunakan untuk mencari korelasi antara stres kerja , konflik peran ganda, dan pengembangan karir karyawan. Perhitungan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan paket Seri Progr am Statistik (SPS) versi 2000 Edisi Sutrisno Hadi. Tabel 18 . Kategorisasi Skor Skala Stres Kerja Kategori Rentang Skor Frekuensi Persentase % Sangat tinggi 73.5 - 80.5 1 1.11 Tinggi 66.5 - 73.5 11 12.22 Sedang 59.5 - 66.5 30 33.33 Rendah 52.5 - 59.5 40 44.44 Sangat rendah 45.5 - 52.5 8 8.89 Berdasarkan kategorisasi pada tabel 18, maka terdapat 1 karyawati (1.11%) yang memiliki stres sangat tinggi, 11 karyawati (12.22%) yang memiliki stres tinggi, 30 karyawati (33.33%) yang memiliki stres sedang, 40 karyawati (44.44) yang memiliki stres rendah, dan 8 karyawati (8.89%) yang memiliki stres sangat rendah di PT. Apac Inti Coorpora Semarang. Pada skala konflik peran ganda yang dialami para karyawati PT. Apac Inti Coorpora Semarang dikategorikan sangat tinggi karena rerata empirik (45.789) lebih tinggi dari rerata hipotetik (39.000) dengan Z = 12.092, dan p = 0.000. Berikut sebaran frekuensi datanya. B. Pembahasan Hasil penelitian ini membuktikan terdapat korelasi yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dan pengembangan karir dengan stres kerja dengan F = 10.667, R2 = 0.197, dan p = 0.000. Kemudian dari hasil analisis regresi bertahap didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dengan stres kerja dengan r-parsial = 0.426 dan p = 0.000. Begitupun juga halnya dengan pengembangan karir dengan stres kerja terdapat hubungan yang signifikan dengan r-parsial = 0.186 dan p = 0.038. Sumbangan efektif terbesar disumbangkan variabel konflik peran ganda sebesar 16.801 persen, sedangkan pengembangan karir memberikan sumbangan efektif sebesar2.892 persen. Hal ini bermakna terdapat 80.307 persen faktor -faktor yang lain yang mempengaruhi stres kerja karyawati PT. Apac Inti Corpora Semarang seperti kondisi kerja, hubungan interpersonal dalam pekerjaan, ambiguitas dalam menempatkan p eran, stereotype gender, komitmen, motivasi, dan tanggung jawab, karyawan minoritas, struktur dan budaya organisasi, jaringan bisnis, harga diri, self efikasi, personal kontrol, dukungan suami, serta latar belakng kehidupan yang dialami oleh setiap subyek (Erita, 2001; Nelson dan Burke, 2002; Robins, 2004; Lambert, et al., 2004). Menurut Sarafino (1997) stres merupakan suatu keadaan yang dihasilkan ketika manusia dan lingkungan bertransaksi - baik nyata atau tidak nyata – antara tuntutan situasi dan sumber-sumber yang dimiliki manusia, menyangkut kondisi biologis, psikologis atau sosial, dan hal ini akan sangat mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami oleh tiap individu. Ketika seorang mengalami stres maka tubuh akan merespon dengan berbagai manifestasi seperti reaksi fisiologis (seperti detak jantung semakin meningkat, pusing, mulut terasa kering, lambung terasa mual, nafas terasa sesak dan lain sebagainya), emosional (tagang, khawatir, mudah marah, merasa tertekan dan lain sebagainya), dan kognitif (daya berfikir kurang, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi) (Hawari, 1996). Lebih lanjut dikatakan Phinney dan Haas (2003) bahwa individu akan melakukan coping yaitu suatu proses serta usaha untuk merubah kognitif atau perilaku secara konstan untuk mengatur tuntutan-tuntutan eksternal maupun internal khususnya yang akan diperkirakan akan membebani dan melampaui kemampuan individu serta sebagai respon seseorang terhadap situasi yang menyebabkan stres tersebut. Taylor (2003) menambahkan bahwa perilaku coping yang dilakukan individu tersebut merupakan pengaturan terhadap tuntutan eksternal dan internal yang berusaha menguasai, menerima, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapi. Terdapatnya hubungan positif dan signifikan antara konflik peran ganda dengan stres kerja karyawati hal ini menandakan bahwa konflik kerja dan konflik peran dalam rumah tangga dapat menyebabkan wanita atau istri lebih rentan terkena stres dibading suami atau pria Lambert, et al., (2004). Hal ini diperkuat dari hasil penelitiannya Broadbridge, et al., (1999) yang membutkitkan bahwa konflik peran ganda pada seorang istri dapat berakibat positif dan negative. Secara positif peran ganda dapat dipandang saling melengkapi kebutuhan ekonomi dan mengasuh anak, sedangkan secara negatif peran ganda dipandang dapat menimbulkan konflik, menghilangnya kesadaran, munculnya persepsi overload, dan stres yang mengarah pada ketegangan dan kelelahan kerja. Hasil penelitian lain membuktikan bahwa para istri lebih rentan mengalami konflik pada tingkat keluarga dan pekerjaan. Pada tingkat keluarga istri yang ingin berkarir mengalami konflik dengan suaminya mengenai perannya sebagai ibu dan pada tingkat organisasi konflik muncul antar karyawan karena laki-laki merasa bahwa perempuan tempatnya dirumah (Gowan, 1998). Hasil penelitian Dancer (1993) menunjukkan bahwa dalam struktur keluarga yang dual-career, para istri memandang dirinya lebih banyak melakukan pekerjaan domestik rumah tangga daripada suami mereka sehingga terjadi ketidakseimbangan pembagian peran dalam rumah tangga. Keluarga dengan struktur tradisional, baik suami dan istri, justru memandang dirinya dan suaminya telah melakukan pembagian peran yang adil dalam rumah tangga. Hal ini nampaknya dikarenakan tanggung jawab dari aktivitas yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai normatif dimana istri menjadi full-time homeworker sedangkan suami lebih berorientasi karir. Hal tersebut dikarenakan budaya dan norma yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan harus dapat mengerjakan pekerjaan perempuan. Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa bila individu (karyawati) bila dapat menjalankan perannya seba gai karyawati dan ibu rumah tangga maka ia dapat menekan stres yang akan dialami, akan tetapi bila individu tersebut tidak dapat meradam konflik peran ganda yang terjadi ia akan mengalami stres kerja negatif yang berupa ganguan psikologis, ganguan fisiologis, dan ganguan perilaku. Kemudian antara pengembangan karir dengan stres kerja terdapat korelasi yang positif dan signifikan. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Leila (2002) bahwa semakin tinggi karir seseorang dalam pekerjaanya seperti manajer atau supervisor maka individu tersebut akan lebih sibuk bekerja dan dibebebani pekerjaan yang memerlukan dengan segera, selain itu sebagai supervisor sering kali terjadi benturan antara dua tuntutan yang berbeda, disatu pihak ia harus memperhatikan penyelesaian tugas yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga memperhatikan pembinaan hubungan baik dengan bawahan -bawahannya dan hal ini menyebabkan stres kerja yang tinggi pada supervisor tersebut. Pendapat di atas didukung dengan karakter responden penelitian ini yang lebih didominasi oleh staff atau officer dan sesuai dengan hasil uji deskriptif bahwa semakin rendah karir seorang karyawati maka semain rendah dampak stres yang diterimanya. Hal ini juga mungkin disebabkan oleh tingkat pendidikan sebagian repsonden yang lebih didominasi oleh lulusan sekolah menengah umum dan diploma yang artinya mereka tidak terlalu mengejar karir akan tetapi hanya bekerja hanya untuk membantu perekonomian keluarga. Sela in itu pada hasil uji deksriptif didapatkan bahwa rata -rata karyawati mengalami stres kerja yang rendah dan hal ini perlu ditingkatkan pada situasi tertentu agar kinerja karyawan meningkat Hal di atas sesuai dengan pendapat Helms-Erikson, dkk (2000) yang mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan seorang istri (karyawati) hanya bertujuan sebagai pencari nafkah tambahan yang artinya pendapatan mereka dapat membantu keuangan keluarga tetapi mereka tetap memandang suami mereka sebagai pencari nafkah utama (primary profider). Hoffman dan Nye (1994) menambahkan bahwa dampak positif dari seorang istri (karyawati) yang bekerja adalah dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan menambah penghasilan suami, m engembangkan cara berpikir lebih luas karena selalu berhubungan dengan orang lain, dan dapat meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri karena merasa berguna dan dibutuhkan. Lebih lanjut menurut Rini (2001) bahwa pada wanita yang bekerja akan menunjukkan tingkat kepuasan hidup sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja dan hal ini menyebabkan wanita (karyawati) tersebut lebih tidak rentan terkena stres dibanding wanita yang tidak bekerja. Semua orang pernah mengalami stres akan tetapi tingkat gangguannya berbeda -beda. Menurut Hasan (2007) terkadang orang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami stres akan tetapi pada kenyataan individu tersebut mengalami stres walaupaun kadarnya rendah seperti kelelahan, rambut rontok, kulit kusam, insomnia (gangguan tidur), gangguan siklus menstruasi, gairah seks yang rendah, juga jarangnya mencapai orgasme saat hubungan intim. Bila ganguan stres ringan ini tidak segera disadari maka inidividu tersebut akan mengalami depresi atau ganguan stres berat seperti psikotik, skizofrenia, depresi berat, dan paranoid. Lebih lanjut menurut Santrock (2002) akibat dari perlakukan diskriminasi, budaya, dan kemiskinan yang menimpa masyarakat maka dapat dikatakan bahwa individu akan lebih rentan mengalami stres baik bagi dirinya dan kelurga. Santrock menambahkan bahwa pemukiman yang tidak memadai, lingkungan yang berbahaya, tanggung jawab yang berat, dan ketidakpastian keadaan ekonomi merupaka stresor yang kuat dalam kehidupan warga masyarakat sekitar. Pada akhirnya Beehr (1995) menyebutkan bahwa dengan meningkatnya tekanan terhadap pekerjaan karena kurangnya kebebasan, adanya perasaan tidak aman akan masa depan, tugas yang semakin bertambah (overload), adanya konflik-konflik dan tuntutan psikologis terhadap pekerjaan dapat menjadi pemicu timbulnya stres di kalangan karyawan. Di sisi yang lain bahwa terjadinya stres bisa dikarenakan reaksi badan kurang kuat atau lemah untuk menerima reaksi adaptif yang kacau atau negatif dari badan kita. Tingkat stres kerja ini akan semakin tinggi apabila karyawan mendapatkan beban kerja atau tambahan tugas yang berbeda tanpa mendapat pelatihan sebelumnya dan jaminan perawatan kesehatan dari perusahaan tempat karyawan bekerja (Minter, 1999). DAFTAR PUSTAKA Abraham, C., & Stanley, E., (1997). Psikologi Sosial Untuk Perawat Kedokteran, Jakarta : Penerbit buku kedokteran WGC. Alessandra, R., (2002). Title deer Studies: Academic dual-career couples in the U.S. Review of the North American Social Research. Jungle Academia. Ancok, D., (1991). Pesona Wanita Tahun 2000: Cantik, Anggun, Taqwa, Kiat Apa yang Perlu Dilakukan? Makalah Seminar. Jogjakar ta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Fakultas Psikologi. Azwar, S. , (2004). Reliabilitas dan Validitas. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Beehr, T.A., (1995). Psychological Stress in Work Place. London: Rutledge. Bernard & Russel., (1998). Human Resource Management. edisi 2. McGraw-Hill International Edition Broadbridge, A., Swarson, V., & Taylor, C., (1999). The Implications of Retail Changes on Employees’ Job Demands, Satisfactions, and the Work/Home Interface. Institute for Retail Studies. http://www.marketing.stir.ac.uk/irs/9903.pdf. Blustein, D.L., Schulteiss, D.E.P., & Flum, H., (2004). Toward a relational Perspective of the P sychology of Careers and Working: a Social Constructionist Analysis. Journal of Vocational Behavior. 64, (2), 423– 440. Carlson, D.W., & Perrewe, P.L., (1999). The Role of Social Support in the Stressor-Strain Relationship: An Examination of Work-Family Conflict. Journal of Management. 25, (4), 513–540. Cascio, W.F., (2002). Applied Psychology in personnel Management (Six Edition). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall Chaterine, W.N.G., Fosh, H., & Naylor, D., (2002). Work-Family Conflict for Employees in East Asian Airline: Impact on Career and Relationship to Gender. Economic and Industrial Democracy. 23, (1), 67-105. Cummings, E.M., Emery, R.E., & Fincham, F.D., (1992). Parenting in Context: Systemic Thinking About Parental Conflict and Its Influence on Children. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 60, (6), 909-912. Dancer, L.S. (1993). Spouses’ Family Work Participations and Its Relation to Wife’s’ Occupational Level. Sex Roles: A Journal of Research . 23, (3), 198- 201. Davis, K, & Newstron.J.W. (1992). Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga. Delery, J.E & Doty, W.H.1996. Modes of theorizing in strategic human resource management: test of universalistic, contingency, and configurationally performance predictions. Academy of management journal, 39, (4), 802- 835. Diemer, M.A., & Blustein, D.L., (2005). Critical consciousness and career development among urban youth. Journal of Vocational Behavior. 68, (2), 220 – 232. Discovery Health. com, www.bd diabetes.com/us/down Loa d/9a-stress-eng.pdf, 2004. Erita Y.D., (2001). Kontribusi Stres pada Produktifitas Kerja di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, no IV. Gelles, R.J. (1995). Contemporary Families; a Sociological View . London: SAGE Publications. Greenglass, E., Fiksenbaum, L., & Eaton, J., (2006). The Relationship between Coping, Social Support, Functional Disability and Depression in the elderly. Journal Routledge Taylor and Francis Group. March; 19, (1), 15 - 31. Gowan, M., (1998). An Examination of Gender Differences in Mexican -American Attitude s toward Family and Career Roles. Sex Roles: A Journal of Research, 23, (5),133-154. Hadi, S. , (2004)a. Metodologi Research I. Jogjakarta: Andi Offset. _______., (2004)b. Metodologi Research II. Jogjakarta: Andi Offset. Hadipranata, F., (2004). Handout Mata Kuliah Organizational Behavior. Program Magister Manajemen. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Haditono, S.R., (1998). Wanita Sebagai Karyawati. Media KORPRI DIY, 5, Th.II. Handoko, T.H., & Reksohadiprodjo, S., (2001). Organisasi Perusahaan. Teori Struktur dan perilaku. Jilid 2. BPFE-Yogyakarta. Hall, D.M. (1993). Manajemen Praktis. Erlangga, Jakarta. Hasan, Z. (2007). Akibat Beban Ganda perempuan Lebih Rentan Stres. Artikel. Koran Pikiran Rakyat Minggu 08 April 2007. Hawari, D., (1996). Al Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa . Dana hakti Prima Yasa, Jakarta. HealthToday. (2003). Wanita Karir di Masa Datang. Jakarta: Info Master. Helms-Erikson, H., Tanner, J.L., Crouter, A.C., & McHale, S.M. 2000. Do Women’s Provide-Role Attitudes Moderate the Links between Work and Family? Journal of Family Psychology, 14, (4), 658-670. http://www.uncg.edu/hdf/hdfs_faculty/h_helms/JFP%202000.pdf. Hoffman, L.W & Nye, F.I. 1994. Working Mother. San Francisco: Josey Bass. Hyung, S.O., & Batra, R.C., (1999). Locations of Optimal Stress Points in Higher- Order Elements. Communications in Numerical Methods in Engineering. 15, (4), 127-136. Jex.S.M., Beehr,T.A., & Roberts, C.K., (1999). The Meaning of Occupational Stress Items to Survey Respondents. Journal of Applied Psychology. 77, (5), 623-628. Kompas, (17 Juli 2004). Hari Buruh Sedunia. Artikel. Jakarta Lambert, E.G., Hogan, N.L., & Bartosn, S.M. (2004). The Nature-of Family Conflict Among Correlation Staff: An Explanatory Examination. Criminal Justice Review. 16, (1), 145-172. Leila, G. (2002). Stres dan Kepuasan Kerja. USU Digital Library. Leigh, J.H., Lucas, G.H., & Woodman, R.W. (1992). Effect of Perceived Organizational Factor on Role Stress-Job Attitude Relationship. Journal of Management. 14, (1), 41-58. Luthans., (1998). Organizational Behavior. New York: Mc Graw-Hill Books Company. Mahfud, A., (1999). Petunjuk Mengatasi Stres. Bandung: Sinar Baru, Algensindo. Maier, G. (2002). Career Ladders: An Important Element in CNA Retention. Geriatric Nursing, 23, (4), 243-258. Maramis, W.F. , (1998). Ilmu kedokteran jiwa . Surabaya: Airlangga University Press. Michigan Department of Career Development., (2002). Work keys: The Language for Building a Career Development System. Paper. Miner, J.B., (2002). Industrial-Organizational Psychological. New York: Mc Graw-Hill inc. Minter, S.G., (1999). Too Much Stress? Occupational Harvard. 6, (5), 49-52. Munandar, A.S., (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press. National Multicultural Institute Publications. (2000). Cultural Influences on Conflict. Nelson, D.L., & Burke, J. (2002). Gender Work Stress and Health . American Psychological Association. United States of America. Noe, R.A., Hollenbeck, J.R., Gerhart, B., & Wright, P.M. (1994). Human Resource Management: Gaining a Competitive Advantage. Illinois: Austen Press. Pervin, L.A., & John, O.P. (1999). Handbook of Personality, 2nd end, NY: Guilford Press Phinney. J.S. & Haas. K., (2003). The process of Coping Among Ethnic Minority First-Generation College Freshmen: A Narrative Approach. Journal of Personality and Social Psychology. 143, (6), 707-726. Prince, J.B., (2003). Career Opportunity and Organizational Attachment in a Blue- Collar Unionized Environment. Journal of Vocational Behavior. 63, (1), 136 – 150 Rini, F., (2002). Stress Kerja. Team-e psikologi.com. http://www.e-psikologi.com/masalah/stress.htm Robbins, S.P., (2004). Teori Organisasi, Stuktur, Desain, dan Aplikasi. (Alih bahasa: Tim Indeks). New Jersey: Prentice Hall. Santrock J.W., (2002). Life-Span Development (edisi terjemah). Erlangga. Jakarta. Samsudin, S., (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Pustaka Setia Bandung. Sarafino, E.P., (1997). Health Psychology Biopsychosocial Interactions, Third Edition, John Wiley dan Sons Inc., New York. Schunarman, A.M., (2001). Marital Quality in Dual-Career Couples: Impact of Role Overload and Coping Resources. Dissertation. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University Sekaran, U., (1986). Dual-Carier Families. San Fransisco: Josey bass publisher. Pestonje, D.M. 1992. Stress -Coping. India sage. Shultz, D.P., & Shultz, S.E., (1994). Industrial and Organizational. Psychology at Work Today’s Smett, B., (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Solso, R.L., (1998), Cognitive Psychology, Five Editions, Boston: Allyn & Bacon. Sonnentag, S. (2000). Excellent performance: The Role of Communication and Cooperation Process. Journal Applied Psychology: an International Review. 49, (3), 483 -497. Suartini, L., & Pursika, I.N. (2006). Menyeruak Ketimpangan Gender: Determinasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasl Politik Wanita di Bali. Suryabrata., S. (2002). Pengembangan Alat Ukur Psikologi, Yogyakarta: Andi Ofset. Taylor, S.E. (2003). Health Psychology, International Editio n. Singapore: McGraw -Hill Book Co. The Association for Counselor Education and Supervision (ACES) and The National Career Development Association (NCDA). (2000). Preparing Counselors for Career Development in the New Millennium. Aces/Ncda Position Paper. The Buzz A Financial Services Employee Newsletter. (2004). Career Development Opportunity Program. University Of California at Berkeley. 1, (1), 102- 121. Voydanoff, P., (2005). Work Demands and Work-to-Family and Family -to-Work Conflict: Direct and Indirect Relationships. Journal of Family Issues. 26, (6), 707-726. Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan . (edisi Rev). Jakarta : PT Gramedia.
0 komentar:
Posting Komentar