Minggu, 04 Maret 2012

Makalah Hukum Bisnis

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha. Dengan persaingan, para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli produk dengan harga murah dan kualitas terbaik. Dalam kondisi demikian, yang harus dituntut adalah bentuk persaingan yang sehat, Karena kita tahu dalam praktek, banyak terjadi bentuk persaingan yang tidak sehat (unfair), yang akan mematikan persaingan itu sendiri, dan pada gilirannya memunculkan praktek monopoli.

Jika kita menyebutkan kata ‘monopoli’ terbayang dalam benak kita adanya seorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk ikut ambil bagian. Dengan monopoli suatu bidang, berarti terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kantong sendiri. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang.

Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat dan paling kaya.

Di Indonesia, dengan sistem ekonomi Pancasila secara implisit justru mengakui adanya monopoli oleh Negara, yaitu terdapat dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945[1], Suatu pasar dikatakan terjadi monopoli apabila : pelaku usaha sebagai price maker mutlak; tidak ada persaingan; adanya entry barrier bagi pelaku usaha lain yang ingin masuk pasar yang sudah di monopoli.

Dengan demikian, praktik monopoli akan menguasai pangsa pasar secara mutlak sehingga pihak-pihak lain tidak memiliki kesempatan lagi untuk berperan serta.

Apalagi kalau produk yang dimonopoli itu merupakan kebutuhan primer, dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.[2]

Dalam kondisi yang demikian, masyarakat tidak mempunyai alternatif lain kecuali membeli produk yang dimonopoli tersebut dan akan terjadi pula inefisiensi dalam menghasilkan produk.

Berangkat dari pemikiran bahwa praktek monopoli tidak hanya menimbulkan distorsi ekonomi yang menggannggu mekanisme perekonomian suatu Negara, tetapi juga membawa dampak buruk bagi moral dan mental pejabat seperti yang telah diuraikan diatas, maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam perspektif hukum nasional dan hukum islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran umum Praktek monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat?

2. Bagaimana Praktek monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat?

3. Bagaimana hukum praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut pandangan hukum islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui gambaran umum praktek monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat.

2. Untuk mengetahui Praktek monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat.

3. Untuk mengetahui hukum praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut pandangan hukum islam.

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berbicara mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka hal yang perlu menjadi perhatian adalah siapa pelaku usaha, siapa konsumen serta apa produk barang dan jasa. Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Barang adalah setiap benda yang berwujud maupun tidak berwujud; bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha [3].

Pengertian monopoli dalam peraturan perundangan kita adalah bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) UU No.5/1999). Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasaninya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum. (pasal 1 ayat (2) UU No. 5/1999).

Dalam hukum nasional, masalah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur didalam UU No. 5 tahun 1999. Dasar pertimbangan lahirnya undang-undang ini:

a. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan pancasila dan UUD 45.

b. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi didalam proses produksi dan pemasaran barang dan jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efesien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.

c. Bahwa setiap orang yang berusaha diindonesia harus berada dan situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara RI terhadap perjanjian-perjanjian internasional.

d. Bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Perlu disusun.

Dengan demikian filosofi dikeluarkannya UU ini yang paling pringsip adalah untuk mengatur jalannya demokrasi dibidang ekonomi agar semua warga negara diberi kesempatan untuk melalukan usaha. Disamping itu jugauntuk me,nciptakn situasi yang kondusif demi terciptanya persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan pemusatan kekuatan ekonomi hanya pada pelaku usaha tertentu. Dengan kata lain undang-undang ini berupaya mengantisipasi agar dalam dunia usaha tidak terjadi praktik monopoli dan menciptakan iklim usaha yang sehat[4].

Dari definisi yang diberikan diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya ada empat hal penting yang dapat dikemukakan terkait dengan praktek monopoli, antara lain : pertama, adanya pemusatan kekuatan ekonomi; kedua, pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha; ketiga, pemusatan kekuatan tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat; keempat, pemusatan kekuatan tersebut merugikan kepentingan umum.

Selanjutnya yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (pasal 1 (6) UU No.5/1999).

B. Praktek monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat

Monopoli umumnya mengacu pada penguaasaan terhadap penawaran dan harga. Monopoli sempurna terlihat apabila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditas yang tidak di keluarkan oeh perusahaan lainnya. Dengan demikian, dalam kondisi yang demikian itu elastisilas permintaan silan sebuah perusahaan monopoli adala kecil sekali. perbedaan antara monopoli dengan bentuk persaingan lain adalah bawa monopoli dapat menetapkan harga pasar untuk hasil produksinya, karena ia adalah produsen tunggal untuk jenis barang tersebut. Karena termotivasi untuk memaksimumkan keuntungan ia akan menetapkan arga barang menurut kehendaknya dan menentukan agar pasar penjualan suatu jumlah barang dengan arga tertentu bisa mengasilkan keuntungan bersih yang maksimum[5].

Contoh konkret tentang pratek monopoli antara lain kasus Badan penyangga dan pemasaran cengkeh (BPPC) yang dikenal dalam era 1990-an. Praktek tata niaga cengke ini mungkin tidak terkenal kalau saja Tommy Soeharto tidak mengambi langkah controversial yakni mendirikan BPPC yang didirikan pemerintah berdasarkan keppres Nomor 20 tahun 1992. Idepokok badan ini adalah untuk menjaga stabilitas dan kewajaran harga cengkeh agar tidak merugikan petani. Namun dalam prekteknya, badan ini ternyata melakukan monopoli pembelian dan pemasaran cengkeh yang justru menimbulkan dampak negative bagi para petani.

Sebalum BPPC berdiri komoditas ini masih mampu mencapai kisaran harga Rp. 9.000 – Rp.15.000 per kilo gram. Saat itu komoditas ini arganya sudah menurun di bandingkan dengan di masa keemasannya. Setela BPPC berdiri, tingkat harga sebesar itu justru sulit di capai kembali. BPPC mematok harga rata-rata sebesar Rp. 7.900 per kio gram.endati demikian , dengan arga itu petani anya memperole Rp. 4.000. Sisanya, Rp. 1.900 diperlukan sebagai sumbangan wajib Kuss petani yang akan diserahkan kepada petani setelah cengkehnya terjual. Sedangkan yang Rp. 2.000 lagi eagai biaya penyusutan, digunakan untuk moal koperasi. Patokan harga itu mau tidak mau harus di ikuti petani, mengingat tidak dl perkenankannya petani menjual cengkahnya kepada pihak lain. Disisi lain, dengan kewenangan praktik monopoli pembelian, BPPC otomatis menguasai penjualan cengkeh kepada pabrik-parik rokok, dengan arga rata-rata Rp. 11.500 per kilogram. Kalau kebutuhan rata-rata cengke dalam negeri mencapai 90.000 ton per tahun, dapat dibayangkan berapa besar keuntungan yang diperoleh BPPC[6].

C. praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut pandangan hukum islam

Sejak 15 abad yang lalu, Nabi Muhammad saw telah mengharamkan perilaku monopoli[7]. Nabi bersabda : “barang siapa melakukan monopoli, maka ia bersalah, berdosa” (HR Muslim dari Mu’amar bin Abdillah). Perilaku monopoli termasuk perbuatan sewenang-wenang dalam menggunakan hak (al-ta’ssuf fi al-isti’mal al-haq). Karena untuk mewujudkan keuntungan pribadi, seorang pelaku monopoli telah menyebabkan timbulnya kerugian yang besar pada hak publik (haq al jama’ah), masyarakat.

Islam, memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap semua aktivitas kehidupan, begitu juga terhadap aktivitas kehidupan ekonomi kita. Tujuan aktivitas ekonomi dalam Islam adalah : mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka moral Islam (QS 2 : 6, 168:87, 62:10); mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal (QS 7 : 158); terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata dan adil (QS 6 : 165, 16 : 71) dan; terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemashlahatan sosial (QS 13 : 36, 31 : 22).

Dengan demikian aktivitas ekonomi dalam Islam harus diawali dari keyakinan normative terhadap kelangsungan dalam mengolah, memproduksi, memasarkan dan memanfaatkan nilai ekonomis demi pemenuhan kebutuhan hajat hidup bersama. Keyakinan normative tersebut adalah : manusia merupakan khalifah dan pemakmur bumi, setiap harta yang dimiliki ada bagian orang lain, penghapusan praktek riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta dan usaha kita, dan dilarang memakan harta secara bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka

Hal tersebut dipertegas oleh Haidar Naqvi, bahwa setiap aktivitas usaha sekaligus merupakan cerminan tujuan untuk ikut memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara luas[8].

Konsep bisnis dalam Islam banyak dijelaskan dalam al Qur’an dengan menggunakan beberapa terma, seperti : tijarah, al-bai, isytara dan tadayantum. Dari kesemua tema tersebut menunjukkan bahwa bisnis dalam perspektif Islam pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material yang tujuannya hanya semata-mata mencari keuntungan duniawi, tetapi juga bersifat immaterial yang tujuannya mencari keuntungan dan kebahagiaan ukhrawi.

Untuk itu bisnis dalam Islam disamping harus dilakukan dengan cara professional yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses manajemen dan administrasi agar terhindar dari kerugian, ia juga harus terbebas dari unsur-unsur penipuan (gharar), kebohongan, riba dan praktek-praktek lain yang dilarang oleh syari’ah.

Karena pada dasarnya aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan antara sesama manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah. Dalam konteks inilah al Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bisnis yang tidak pernah mengenal kerugian yang oleh al Qur’an diistilahkan dengan “tijaratan lan tabura”. Karena walaupun seandainya secara material pelaku bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung karena mendapatkan pahala atas komitmennya dalam menjalankan bisnis yang sesuai dengan syari’ah.

Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama : (1) target hasil : profit-materi dan benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan[9].

Target hasil : profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.

Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri.

Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimah insaniyah, qimah khulqiyah dan qimah ruhiyah. Dengan qimah insaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimah khulqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan fungsional atau professional. Sementara itu qimah ruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt[10].

Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syari’ah, bukan menghalalkan segala cara.

Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat exis dalam kurun waktu yang lama.

Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridha dari Allah swt dan bernilai ibadah[11].

Dalam Islam menekankan empat sifat sekaligus yang harus diemban oleh para pelaku usaha. Pertama, Unity (Keesaan Allah/Tauhid) adalah suatu interaksi sosial yang bermuara pada Keesaan Allah atau Tauhid. Artinya segala upaya yang dilakukan oleh manusia berpulang pada fungsi tugas ibadah dan tanggungjawab kepada Allah SWT sebagai Pemberi Amanah dan sebagai Pemilik Sumber Daya yang sesungguhnya.

Manusia sebagai pemegang amanah akan diminta pertanggungjawabannya atas pengelolaam sumber daya yang ada dimuka bumi kepada Allah swt sebagai Pemilik Sumber Daya;

Kedua, equilibrium, keseimbangan (Keadilan). Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan[12].

Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Umatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis[13].

Dalam al Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri. Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar. Dijelaskan juga bahwa cirri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.

Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut : (1) produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2) setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai social marginal dan individual dalam masyarakat. (3) tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.(Nawab Naqvi, 1993 : 99)

Ketiga, free will, (kehendak bebas) memberikan keleluasaan terhadap manusia untuk menggunakan segala potensi sumber daya yang dimiliki, termasuk kebebasan dalam melaksanakan aktivitas usaha. Tetapi kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya pastinya memiliki batas-batas tertentu yaitu koridor hukum, norma dan etika (Manhaj al-Hayat) yang tertuang dalam al Qur’an dan sunnah rasul;

Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada[14].

Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekwensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekwensi baik dan buruk sebagai bentuk resiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa[15].

Keempat Responsibility, (Pertanggung jawaban). Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak lepas dari pertanggung jawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al Qur’an “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya pastinya memiliki batas-batas tertentu yaitu koridor hukum, norma dan etika (Manhaj al-Hayat) yang tertuang dalam al Qur’an dan sunnah rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai.

Prinsip memberikan yang terbaik kepada konsumen dapat berupa memberikan kualitas produk terbaik, memberikan harga yang kompetitif dibandingkan dengan yang lain dan memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen. Dalam konsep ini, segala aktivitas bisnis mulai dari kegiatan produksi sampai kegiatan barang tiba di pasar, ditujukan untuk merebut hati atau membangun image konsumen dengan memberikan yang terbaik.

Keuntungan dalam bersaing untuk memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dapat dilakukan dengan cara : bekerja atau beroperasi dengan cara yang lebih efisien : membuat barang dan jasa lebih bermutu dan memberikan pelayanan yang terbaik. Logikanya, jika kita beroperasi lebih efisien dipastikan biaya dapat dicapai lebih rendah. Dengan biaya rendah maka harga bisa ditekan. Sesuai dengan ajaran Islam, yang artinya “berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebajikan” (QS al Baqarah 148 dan al Maidah : 48). Oleh karena itu dalam bisnis Islam tidak diperbolehkan melakukan kompetisi yang tidak sehat yang akhirnya menjurus pada praktek monopoli.

Seorang pelaku usaha yang memaksakan kehendak agar tidak ada yang menjual suatu barang kecuali dia, maka dengan perbuatan yang dilakukan tersebut mengandung dua kedzaliman. Pertama, ia melarang orang berdagang seperti barang yang ia jual; kedua, ia menjual barang tersebut sesuai kehendaknya dengan harga yang tinggi. Hal tersebut bertentangan dengan ayat al Qur’an yang artinya : ‘…. Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS al Baqarah : 188) Dan juga surat an-Nisa yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (QS An-Nisa : 29).

Kalau diilustrasikan “dosa-dosa” yang dilakukan oleh pelaku praktek monopoli, antara lain : dosa pertama, beberapa perusahaan berkonspirasi membentuk sindikat kartel bisnis yang tidak diperbolehkan oleh agama dan undang-undang; dosa kedua, sindikat perusahaan melakukan pembelian saham perusahaan secara monopsoni (istilah monopoli dalam pembelian) yang juga tidak diperbolehkan oleh agama dan undang-undang; dosa ketiga, kalau misalnya produk yang dihasilkan perusahaan sejenis dengan perusahaan pembeli yang berakibat semakin dominannya pangsa pasar terhadap produk sejenis tersebut, akan berkembang menjadi monopoli penjualan; dosa keempat, timbul jika monopoli terjadi terhadap jenis produk yang terkait erat dengan policy pemerintah tentang proteksi barang dalam negeri. Misalnya terkait dengan produksi otomotif. Dengan adanya monopoli dan penyatuan produsen mobil, harga mobil akan melambung tinggi dan berlipatganda jika dibandingkan dengan Negara asal mobil diproduksi; dosa kelima, monopoli akan memberi akses terhadap perekonomian secara makro maupun mikro. Dengan kekuatan ekonomi yang sangat besar mereka dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan dan mengatur seluk beluk dan sendi pemerintahan sesuai dengan kepentingan mereka..

Secara sepintas terlihat, pelarangan praktik monopoli sebagai tindakan semena-mena terhadap hak pribadi seseorang yang bebas dalam menggunakan hartanya. Hal tersebut sebagaimana jawaban dua pelaku monopoli ketika dihadapkan pada Khalifah Umar bin Khattab yang melarang pelaku monopoli : “Wahai pemimpin mengapa engkau melarang kami sedang kami hanya melakukan perbuatan jual beli dengan harta kami sendiri” ? Tetapi, justru penolakan terhadap praktik monopoli disebabkan karena hak dan ruang berkarya orang lain menjadi sulit dan terbatas. Padahal kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak boleh dimiliki secara mutlak, dan Islam memberi ruang gerak yang sangat luas kepada kita untuk melakukan aktivitas ekonomi selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika bisnis Islam.

Berangkat dari pemikiran tersebut, inti dari praktek monopoli dalam Islam sebenarnya adalah sebagai aktivitas usaha yang dipenuhi oleh kebathilan. Kebathilan tersebut berupa : penindasan (eksploitasi) terhadap rakyat kecil dengan cara menaikan harga di luar kewajaran dengan menggunakan kekuatan yang dimilikinya ; bohong dan tidak jujur dalam berusaha (bisnis). Misalnya : terhadap kualitas barang, harga barang, perjanjian dan usaha, berlaku curang terhadap sesama pelaku usaha; dan lain-lain.

Oleh karena itu praktek monopoli merupakan suatu tindakan yang tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga akan merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi umat dan tentunya bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at. Karena setiap aturan Ilahiah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi umat baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Islam memandang bahwa berusaha atau bekerja mencari rizki merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Tentu mencari rezeki dalam konteks ajaran Islam bukan untuk semata-mata memperkaya diri sendiri.

Karena Islam mengajarkan bahwa kekayaan itu mempunyai fungsi sosial. Secara tegas al Qur’an melarang penumpukan harta dalam arti penimbunan (hoarding), melarang mencari kekayaan dengan jalan tidak benar, dan memerintahkan membelanjakan harta secara baik.

PENUTUP

Berangkat dari analisis diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Dalam etika bisnis Islam, persaingan dipandang sebagai hal yang positif manakala dengan persaingan tersebut bisa diwujudkan kemashlahatan bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi umat. Tetapi apabila persaingan tersebut menjurus kepada perilaku tidak etis (tidak sehat) atau praktek monopoli maka mengkategorikannya sebagai perbuatan bathil, melanggar prinsip ekonomi syari’ah yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunnah.

Dalam bisnis Islam disamping harus dilakukan dengan cara professional yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses manajemen dan administrasi agar terhidar dari kebohongan, riba dan praktek-praktek lain yang dilarang oleh syari’ah

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Kelib, Hukum Ekonomi Islam, Semarang UNDIP, 2005

Djakfar, Muhammad, Hukum bisnis: Membangun Wcana Integrasi Perundangan Nasional Dengan Syari’ah, Malang: PT LKiS Printing Cemerlang.

Hikmahanto Yuwono, Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999” Jurnal Magister Hukum UII, vol1. No.1, Yogyakarta , 2000.

Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta Gema Insani Press. 2002

Muslich, Etika Bisnis Islami : Landasan Filosofis, Normatif dan Substansi Implementatif, Yogyakarta : Ekonisia, 2004

Rafik Isa Beekun, Islamic Business Ethict, Virginia. International Institute of Islamic Thought, 1997

Shabri A. Madjid, Krisis Ekonomi Dalam Perspektif Islam” Makalah Penelusuran Internet

Sri Redjeki Hartono, Hukum Persaingan, Semarang, UNDIP, 2005

Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


[1]. Hikmahanto Yuwono, Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999” Jurnal Magister Hukum UII, vol1. No.1, Yogyakarta , 2000, hal. 31

[2]. (Sri Redjeki Hartono, 2005 : 4).

[3] Sri Redjeki Hartono, Hukum Persaingan, Semarang, UNDIP, 2005. hal. 7

[4] Djakfar, Muhammad, Hukum bisnis: Membangun Wcana Integrasi Perundangan Nasional Dengan Syari’ah, Malang:PT LKiS Printing Cemerlang. 319-320

[5] Ibid., 329

[6] Ibid., 331-332

[7] Abdullah Kelib, Hukum Ekonomi Islam, Semarang UNDIP, 2005. hal. 1

[8] Shabri A. Madjid, Krisis Ekonomi Dalam Perspektif Islam” Makalah Penelusuran Internet, 2006. hal. 3

[9] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta Gema Insani Press. 2002. hal. 18

[10] Ibid, hal. 19

[11] Ibid. hal. 20

[12] Muslich, Etika Bisnis Islami : Landasan Filosofis, Normatif dan Substansi Implementatif, Yogyakarta : Ekonisia, 2004. hal. 37

[13] Muhammad Ismail, Op. Cit. hal. 13

[14] Rafik Isa Beekun, Islamic Business Ethict, Virginia. International Institute of Islamic Thought, 1997. hal. 24

[15] Muslich, Op. Cit. hal. 42

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Beri Komentar yahcc...!!! Terima kasih atas Kunjungannya,, :-)

 
Design Downloaded from Free Website Templates Download | Free Textures | Web Design Resources